- Terbunuhnya Puyang-Puyang....!!!!!!!!!!!







Terbunuhnya Puyang-Puyang

Oleh : RICI PIRNANDO

Penulis adalah Direktur Lembaga Budaya Komunitas Batanghari 9 (KOBAR 9)
Suatu hari, sekitar tahun 70-an, ibu saya mengalami cerita aneh saat mencari puntung (kayu untuk memasak) di hutan kawasan dusun Simpang Perigi dan Dusun Kunduran, Kecamatan Ulu Musi, Empat Lawang. Ketika itu , ibu terpisah dari empat orang ibu yang sebelumnya bersamanya, sedangkan hari sudah remang petang. Ibu saya bingung, maklum dia bukan berasal dari dusun setempat. Meski pun ibu saya kelahiran Pagaralam, tapi dia berasal dari etnik Palembang. Dia bisa pergi ke dusun ini karena ikut suami (ayah saya) yang asli dari dusun ini. Dalam kebingungan bercampur kecemasan ibu saya memanggil-manggil nama Ayu (Ayuk/Mbak), salah seorang di antara tiga orang ibu yang bersama-sama dengannya. Tapi tidak ada sahutan sama sekali.
Karena kelelahan, apalagi dengan beban ambinan yang tergantung di kepalanya (beban keranjang yang berisi puntung dan digantungkan di kepala dengan tali yang terbuat dari kayu), akhirnya ibu terduduk lesu. Tetapi tiba-tiba mata ibu melihat seseorang perempuan yang mirip dengan Ayu yang menemaninya tadi. Perempuan itu memakai kain hitam setengah dada, berjalan membelakanginya, dan dengan keranjang tanpa isi. Jaraknya terpaut sekitar 300 meter di depannya. Ibu memanggil nama :”Ayu!, tunggu!”. Tapi perempuan yang dipanggil terus berjalan. Ibu bergegas berdiri dan menyusul perempuan tersebut. Anehnya, jarak antara ibu dan perempuan tersebut tidak mendekat, pun tidak menjauh. Di satu kelokan tebing, perempuan itu menghilang. Ibu terus berjalan dan mencari perempuan itu, tapi tidak menemukannya. Untunglah, ternyata ibu sudah sampai di tepian, tempat penduduk mandi. Berarti ibu sudah menemukan jalan dan tidak beberapa lama lagi akan tiba di dusun.
Esok harinya, ibu menemui Ayu yang mirip dengan perempuan yang ditemui di hutan. Ibu bertanya, apakah dia yang berada di hutan petang kemarin. Jika memang iya, kenapa tidak menyahut ketika dipanggil. Dengan kaget, Ayu menjawab tidak. Katanya, dia sudah duluan pulang ke dusun. Dia dan ibu-ibu yang lain sebenarnya sudah mencari-cari ibu ketika itu, tapi tidak ketemu. Lalu mereka pulang meninggalkan ibu sendirian di dalam hutan. Masalah perempuan yang ditemui itu, menurutnya, itu sebenarnya Puyang. Lain kali, jika tersesat lagi di hutan, ambil pisau, pukulkan belakang pisau di batang pohon tiga kali, maka Puyang akan muncul menolong anak cucunya yang tersesat tersebut. Puyang bisa muncul menyerupai orang dekat yang kita kenal, tetapi dia bukan Masumai yang juga dapat menyamar. Masumai justru akan menculik dan menyesatkan.
Begitulah sekelumit pengalaman nyata yang dialami oleh ibu. Saya kira banyak lagi cerita-cerita serupa yang dialami oleh orang-orang di dusun atau bahkan di kawasan Batanghari Sembilan. Sebenarnya siapakah puyang? Apakah betul puyang itu adalah orang sakti yang meski pun sudah meninggal tetapi tidak mati?
Dalam pengertian sebenarnya, puyang adalah sebutan bagi orang tua dari nenek, atau tiga tingkat generasi pendahulu. Tetapi dalam pengertian seperti cerita di atas puyang tersebut bisa melebihi tiga generasi ke atasnya dan bahkan terkadang sulit ditelusuri lagi garis geneologisnya. Sosok puyang yang diyakini oleh masyarakat ini bisa dalam berbagai bentuk dan fungsinya. Ada puyang yang diyakini menyerupai sosok harimau, sang raja hutan yang berfungsi menjaga hutan, meski pun dia juga dapat menyerupai sosok lainnya. Tetapi bagi masyarakat perairan seperti daerah Pemulutan, meyakini puyangnya menjelma seperti Buaya yang menjaga sungai.
Menurut penafsiran saya, puyang dalam kategori ini, berbentuk abstrak. Atau, kendati pun dahulunya memang pernah hidup dan memiliki ilmu kebatinan yang tinggi (sakti), tetapi telah mendapat bumbu-bumbu cerita yang membuat tokoh puyang menjadi lebih sakti dan ideal. Sehingga ketika mati pun masih dapat berbuat untuk anak cucunya atau dikeramatkan. Menurut keyakinan masyarakat, sebenarnya puyang-puyang tidak mati, hanya silam (menghilang) dan berada di alam gaib. Dia berada di hutan, di sungai, di udara, di dalam rumah, dan di mana-mana, dengan mata yang terus mengontrol perilaku kehidupan anak cucunya. Karena itu, pada masa lalu, aturan-aturan adat begitu efektif.
Ranah sanksi terhadap perbuatan menyimpang, jika diketahui pelaksana adat maka dia wajib menjalankan sanksi, yang ada dalam Pesan Puyang. Jika tidak, maka Puyang sendiri yang akan menjalankan sanksi berupa keparat (kualat) yang bisa jadi berbentu bencana alam atau penyakit fisik dan psikis yang akan dialami oleh pelanggar.
Setiap suku bahkan sub suku (dusun) di wilayah Batanghari Sembilan biasanya memiliki puyang yang sekaligus juga petuah-petuah yang menjadi pandangan hidup (way of life) anak cucunya. Puyang-puyang yang diyakini secara lokal seperti Puyang Atung Bungsu di Besemah, Puyang Ranggonang di Sekayu, Puyang Senuro di dusun Senuro, Puyang Dayang Rindu di Daerah Ogan, Puyang Kemiri di dusun Kunduran Ulu Musi, dan lain sebagainya. Tetapi ada juga puyang yang diakui di seluruh wilayah Batanghari Sembilan, seperti Puyang Serunting, Si Pahit Lidah. Karena banyak yang mengakuinya, cerita Puyang Si Pahit Lidah, juga mengelami berbagai versi daerah, diataranya versi Komering, versi Ogan, versi Besemah, versi Kerinci, dan juga versi Bengkulu Selatan.
Kearifan lokal dalam spirit puyang seharusnya tetap dilestarikan sebagai norma dasar adat dalam bermasyarakat, dan menjaga hubungan dengan lingkungan. Misalnya, bagaimana makna cerita Puyang si Pahit Lidah yang mengajarkan untuk tidak mengumbar lidah secara emosional karena akan mendatangkan mala petaka bagi orang lain dan diri sendiri. Bagi masyarakat sekitar Gunung Dempo yang meyakini peninggalan pra Sejarah seperti Megalitik merupakan sumpahan Si Pahit Lidah, ternyata sangat efektif untuk menjaga kelestarian peninggalan tersebut. Orang-orang menjadi takut keparat (kualat) mengganggu peninggalan tersebut, karena disumpah Puyang Si Pahit Lidah.
Contoh lain dari pesan puyang yang memiliki kearifan adalah pesan Puyang Kemiri yang berupa Rarangan (larangan) Puyang , yakni: (1) beduo ati dalam dusun nedo selamat (berdua hati di dalam dusun tidak selamat), (2) masukkan risau dalam dusun nedo selamat (memasukkan pencuri di dalam dusun tidak selamat), (3) iri dengki di dalam dusun nedo selamat (iri dengki di dalam dusun tidak selamat).
Selain itu, puyang Kemiri pun memesankan tujuh larangan lagi, yakni: satu, nyapakan kaparan ke ayik (membuang sampah ke sungai), dua, mandi pakai baju dan celano (mandi memakai baju dan celana; biasanya orang di dusun kalau mandi memakai telasan (kain penutup tubuh yang dipakai khusus untuk mandi), tiga, buang air besar/kecil di atas pohon, empat, ngambik puntung tegantung (mengambil kayu bakar yang tergantung di pohon), lima, ngambik putung anyot (mengambil kayu bakar yang hanyut di sungai, enam, mekik-mekik di ayik dan di hutan (berteriak di hutan atau di sungai), tujuh, nganyotkan kukak gebung (menghanyutkan kulit rebung di sungai).
Saya kira, masih banyak pesan Puyang di daerah lain yang memiliki hikmah yang bijak dalam menjaga keseimbangan antara diri pribadi, masyarakat dan lingkungan alam sekitar. Tetapi sayangnya, keyakinan terhadap keberadaan puyang-puyang saat ini mulai ditinggalkan oleh masyarakat. Akibatnya, Banyak warga yang tidak takut lagi berbuat sumbang (berzinah) karena tidak ada sanksi adat lagi yang akan di dapatnya akibat perbuatannya itu. Sementara, hukum formil yang berlaku tidak memberikan sanksi perbuatan sumbang jika dilakukan oleh dua orang berlain jenis apabila berdasarkan suka sama suka. Begitu juga dengan masalah lingkungan, banyak warga masyarakat yang tanpa takut kualat lagi untuk menebangi pohon di dalam hutan, sekali pun pada status hutan larangan yang diberikan oleh adat. Padahal, dimana-mana penggundulan hutan telah menyebabkan keparat (Kualat) berupa banjir besar yang mengorbankan harta dan jiwa.
Lalu jika diyakini bahwa puyang berada di dalam hutan, setelah hutan-hutan dihabisi, kemanakah puyang yang sebenarnya berupa ideologi dan pendangan hidup itu berpindah, masih bermukim di hutan tersisakah, atau telah terbunuh oleh virus-virus materialis yang datang bersama angin dari barat.

1 komentar:

  1. baru tau ada cerita seperti ini. Terima kasih share informasinya..

    BalasHapus


Daftar isi