- Mitos Atung Bungsu...!!!!!!



Besemah dan Mitos Atung Bungsu....!!!!!

Oleh : RICI PIRNANDO

Sejarah Besemah relatif tidak banyak, umumnya berasal dari tradisi lisan (oral history) yang tumbuh di kalangan terbatas penduduk Besemah sendiri. Kalau pun ada sumber tertulis mengenai sejarah kepuyangan Besemah, terutama yang berasal dari penulis-penulis Belanda, juga mencatat dari cerita tutur orang Besemah sendiri, sedangkan sumber tertulis dari kaghas*, yang masih ada di sebagian penduduk Besemah (juray-tuwe) jumlahnya sangat terbatas. Penulis Belanda pun mengakui, sejarah masyarakat di daerah Sumatera Selatan pada abad ke-14 dan ke-15 merupakan “masa gelap”, mereka tidak mendapatkan catatan dalam kurun waktu tersebut.
Sejarah mengenai keberadaan asal-usul penduduk (puyang) Besemah, yaitu puyang Atung Bungsu, didapat dari sumber yang tercatat di kaghas, tanduk kerbau, ghuwas buluh (ruas bambu) ataupun bilah buluh (gelumpay) bahkan yang berdasarkan cerita rakyat secara turun-temurun (tradisi lisan). Kisah dan cerita kepuyangan menjadi bagian yang tidak terlepas dari sejarah sukubangsa Besemah pada periode Jagat Besemah. Dalam cerita yang berkembang, tokoh yang bernama Atung Bungsu merupakan pendiri era Jagat Besemah, sejak itu istilah “Besemah” mulai dikenal. Yang menjadi permasalahan sekarang, siapakah Atung Bungsu dan apakah ia memang  tokoh mitos atau realitas sejarah?



Klaim Besemah Dari Majapahit...!!!!!!
Memang jauh sebelum kehadiran Atung Bungsu di sekitar Gunung Dempo**, diperkirakan awal abad ke-14, sudah ada masyarakat mendiami daerah ini (mungkin belum ada istilah “Besemah”). Bahkan puluhan abad sebelum ia datang, sudah ada peninggalan budaya prasejarah tradisi megalitik tua yang diperkirakan berumur 2.500 sampai 1.500 Sebelum Masehi (SM) berakulturasi dengan peninggalan budaya prasejarah tradisi megalitik muda yang diperkirakan berumur  200 sampai 100 SM di sini. Peninggalan (artefak) tradisi megalitik yang sampai sekarang masih ada, memperlihatkan  kebudayaan masyarakat di lereng Gunung Dempu relatif sudah tua dan dari hasil kajian arkeologis menunjukkan bahwa mereka sudah berinteraksi dengan masyarakat di luarnya (globalisasi). Tetapi yang dikenal sekarang bahwa cikal-bakal penduduk Besemah adalah keturunan dari Atung Bungsu dari trah kerajaan Majapahit yang berpusat di pulau Jawa.
Nampaknya klaim bahwa penduduk Besemah mude juga dialiri darah Majapahit tidak hanya berlaku bagi jeme (orang/suku) Besemah saja, tetapi juga bagi suku-suku di pedalaman Sumatera Selatan seperti suku Empat Lawang, suku Rejang, suku Komering/Daya, suku Belide, dan lain-lain. Hal ini dapat dilihat dari silsilah-silsilah yang ditemukan di masyarakat pedalaman Sumatera Selatan, umumnya, merunut ke silsilah yang berujung, setidak-tidaknya, terkait dengan penguasa Majapahit. Yang juga menjadi pertanyaan mendasar, jauh sebelum kedatangan orang-orang Majapahit di pedalaman Sumatera Selatan, sudah ada kerajaan besar pertama di bumi Nusantara, yaitu kerajaan Sriwijaya.



Jejak Sriwijaya....!!!!!
Ke mana perginya rakyat dari kerajaan besar pertama di Nusantara ini? Apakah mereka hilang begitu saja? Padahal dari fakta-fakta sejarah yang ada, tidak ditemukan bentuk-bentuk baik secara fisik maupun kultural peninggalan dari kerajaan Majapahit di pedalaman Sumatera Selatan***, sedangkan kerajaan Sriwijaya yang muncul lebih dahulu atau lebih tua kurun waktunya dari Majapahit, masih meninggalkan “tapak-tapak” prasasti dan artefak yang jelas, demikian pula nama-nama tempat (toponim) di Sumatera Selatan. Bahasa Melayu tua atau “bahasa Sriwijaya” terus dikembangkan di Nusantara melalui peningkatannya di kerajaan Melayu di Malaka.
Begitu tertanamnya mitos Majapahit sehingga yang tertinggal sampai saat ini di Sumatera Selatan adalah legenda-legenda yang berkaitan dengan Majapahit. Padahal dalam realitas sejarah Majapahit tidak meninggalkan bukti-bukti yang jelas di Tanah Besemah ini, apakah berupa prasasti, bahasa, adat-istiadat, ataupun nama-nama tempat. Hal ini sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh penulis sejarah masa klasik Jawa, Slametmulayana (1979:143). Ia menyatakan.
Namun di daerah-daerah ini (Sumatera Selatan) tidak ditemukan piagam sebagai bukti adanya kekuasaan Majapahit. Hikayat-hikayat daerah, yang ditulis kemudian, menyinggung adanya hubungan antara pelbagai daerah dan Majapahit dalam bentuk dongengan, tidak sebagai catatan sejarah khusus. Dongengan-dongengan itu menunjukkan sekedar kekaguman terhadap keagungan Majapahit.
Berangkat dari mitos yang sudah melekat kuat dengan tokoh Atung Bungsu, berdasarkan cerita yang diyakini oleh sebagian masyarakat Besemah, ia telah menurunkan anak-cucunya sampai berkembang biak dan beranak-pinak membentuk suatu masyarakat genealogis tersendiri yang menjadi beberapa sumbay****, sehingga melahirkan pemerintahan tradisional khas Besemah yang dinamakan Lampik Mpat Merdike Duwe. Keyakinan ini, sesuai dengan pendapat Mircea Eliade yang mengatakan, bahwa “Myth tells only of that really happened” (artinya: Mitos hanya menceritakan yang sebenarnya terjadi). Pendapat Mircea Eliade itu senada dengan pendapat Prof. Dr. James Dananjaya (1986:23), seorang ahli folklor Indonesia, menjelaskan mitos adalah cerita prosa rakyat yang dianggap benar-benar terjadi serta dianggap suci oleh yang empunya cerita. [*]



Catatan....!!!!!!!
_ Nama sejenis kayu sebagai media tulisan sebelum penduduk Besemah mengenal kertas. Kulit kaghas ini liat dan tidak dimakan ngengat (sejenis serangga). Menurut M. Shoim K. (1979:5), isi  kaghas tidak banyak memuat sejarah asal-usul sejarah jeme Besemah, tetapi yang terbanyak memuat penuntun dalam peperangan dan obat-obatan juga petunjuk untuk bercocok-tanam yang dinamakan pidaran (peredaran cuaca).
_Sebenarnya penulisan nama Gunung Dempo, yang benar adalah Gunung Dempu, yang berarti gunung yang di(e)mpu, yang bermakna sama dengan dipuja (pu), dipuji (pu), dikeramatkan, dianggap sakti, dan bertuah. Gunung Dempu memisahkan Besemah Libagh dengan Besemah Ulu Manak.
_ Untuk kajian sejarah Palembang Lamo (Lama), sudah banyak terungkap tentang keberadaan kekuasaan Majapahit pernah bertahta di Palembang
_Kesatuan masyarakat suku Besemah yang berdasarkan keturunan geneologis, termasuk suku-suku yang terbentuk sebagai  persebarannya, seperti  Semende,  Kisam, Kikim, Kedurang, Padang-guci, Kelam,  Kinal, dan Luwas.

4 komentar:

- Asal Usul Empat Lawang......!!!!!!!



Puyang Kemiri: Pesan-pesan dan Asal-usul Empat Lawang


Penulis adalah Direktur Lembaga Budaya Komunitas Batanghari 9 (KOBAR 9)
DALAM kisah-kisah Puyang, selain memuat asal-usul, juga memuat pesan-pesan dasar yang menjadi aturan adat yang amat dipatuhi oleh masyarakat. Inilah yang disebut dengan pesan puyang. Satu diantara kisah puyang di wilayah Batanghari Sembilan adalah Puyang Kemiri yang diakui sebagai puyang (nenek moyang) orang-orang di dusun (sekarang desa) Kunduran, sebagian dari masyarakat dusun Simpang Perigi, dan sebagian masyarakat yang tersebar di dusun-dusun sekitar kecamatan Ulu Musi, Kabupaten Empat Lawang, daerah perbatasan antara provinsi Sumatera Selatan dan provinsi Bengkulu. Dahulu daerah ini merupakan bagian dari wilayah marga Tedajin. Berikut ini ringkasan cerita Puyang Kemiri.
Konon di masa akhir kejayaan kerajaan Majapahit, Rio Tabuan, seorang biku yang yang berasal dari negeri Biku Sembilan Pulau Jawa menelusuri sungai Rotan atau sungai Musi dengan membawa kerbau dan ayam berugo (ayam hutan). Ketika tiba di Kuto Kegelang, kedua hewan yang dibawanya berbunyi, maka di tempat inilah dia menetap. Kuto Kegelang berada beberapa kilo meter di hulu Dusun Kunduran.
Di Kuto Kegelang, dia mendapatkan tujuh orang anak yang bernama:
  • Imam Rajo Besak,
  • Imam Rajo Kedum,
  • Seampai-ampai,
  • Maudaro,
  • Siap Melayang,
  • Robiah Sanggul Begelung
  • Serunting Sakti.
Setelah mendapatkan tujuh orang anak, Puyang Rio Tabuan tidak lagi merasa kesepian. Anak-anak ini dimintanya dari Mastarijan Tali Nyawo, seorang penduduk yang tinggal di Surgo Batu Kembang.
Bertahun-tahun kemudian, Robiah Sanggul Gelung yang cantik dilarikan oleh Seniang Nago ketika mandi di tepian Sungai Musi. Robiah duduk di atas sebatang kayu yang rupanya samaran Seniang Nago dan kemudian pelan-pelan bergerak menjauh dan melarikannya ke Selabung. Lalu Robiah disusul oleh Kerbau Putih, (seekor kerbau peliharaan Puyang Kemiri, atau penafsiran lain adalah seorang yang berjuluk Kerbau Putih karena kesaktiannya) untuk mencari Robiah, atas suruhan saudara-saudaranya.
Kerbau putih memulai pencariannya dengan menyelam di sana dan muncul di tepian coko (tepian mandi di seberang dusun Kunduran). Di tempat ini masih dapat dilihat bekas telapak kaki (tinjak) kerbau putih. Lalu dia menyelam lagi, muncul kedua kalinya di dusun Tapa dan kemudian menyelam lagi hingga ketiga kalinya di Selabung.
Pencarian Kerbau Putih ini berhasil menemukan Robiah tetapi tak berhasil membawakanya kembali ke Kuto Kegelang. Robiah sudah menikah dengan Seniang Nago. Lalu Kerbau putih segera pulang ke Kuto Kegelang. Sebagai tanda bukti bahwa dia sudah bertemu dengan Robiah, Kerbau Putih dibekali dengan seikat ilalang, seruas bambu, air garam, sebuah kemang, seekor kemuai (keong putih) serta pesan Puteri Robiah yang ditulisnya di tanduk Kerbau Putih.
Dalam perjalanan pulang, Kerbau Putih dihadang oleh kerbau Tanduk Emas dan kemudian dua kerbau ini berkelahi. Kerbau Putih kelelahan dan mati di dusun Tapa. Perbekalan yang dibawa olehnya berupa ilalang tertumpah dan tumbuh di daerah ini sehingga menjadi hamparan padang ilalang yang saat ini dikenal dengan nama Padang Pancuran Emas. Buah Kemang pun tumbuh dan bambu juga ikut tumbuh di atas tubuh Kerbau Putih, sedangkan Kemuai diantarkan oleh Puyang Dusun Tapa ke Kuto Kegelang dan sekaligus menyampaikan pesan tentang Robiah yang tertoreh di tanduk Kerbau Putih.
Berselang beberapa bulan kemudian, Robiah yang sudah memiliki seorang anak berniat pulang (begulang) ke Kuto Kegelang. Mendengar kabar Robiah akan begulang, semua saudara-saudaranya amat bahagia, dan segera bermusyawarah untuk mengadakan sedekahan (kenduri). Tetapi lain halnya dengan Serunting, di dalam hatinya masih menyimpan rasa sakit karena perlakuan Seniang Nago yang melarikan Robiah. Karena itu, ketika dia disuruh mencari ikan, dengan setengah hati dia pergi, dan baru kembali setelah kenduri usai.
Ketika kembali Serunting hanya membawa seruas bambu, seperti yang di bawanya semula. Tetapi ternyata, seruas bambu itu berisi ikan yang tidak habis-habisnya, semua bakul, keranjang bahkan kolam tidak dapat menampung ikan yang ditumpahkan dari seruas bambu tersebut. Imam Rajo Besak yang sedari mula sudah kesal dengan Serunting bertambah marah. Lalu Imam Rajo Besak melemparkan seruas bambu dengan sangat keras hingga melewati Bukit Lesung dan jatuh di sungai Pelupuh.
Serunting sakti jadi tersinggung dengan sikap kakak tertuanya ini lalu pergi dari rumah. Tinggallah Imam Rajo Besak dan ke empat saudaranya. Mereka hidup tenang dalam beberapa tahun. Lalu mereka diserang oleh segerombolan orang. Rumah mereka dibakar habis. Tetapi kelima puyang ini dengan kesaktiannya, tiba-tiba menghilang (silam) dari pandangan orang-orang.
Dalam sebuah rumah yang mereda dari kobaran api, tampaklah seorang anak yang duduk di tengah puing-puing rumah. Konon, anak itu bukan hangus tetapi malah menggigil karena kedinginan. Anak yang bernama Sesimbangan Dewo ini kemudian dipelihara oleh Puyang Talang Pito (daerah Rejang). Sesimbangan Dewo, artinya pengimbang puyang yang silam. Beberapa tahun dia dirawat oleh Puyang Talang Pito. Lalu dia mengembara selama sepuluh tahun ke negeri lain. Kemudian dia pulang ke sekitar dusun Kunduran, menetap di Muara Belimbing. Makamnya pun berada di Muara Belimbing.
Setelah beberapa tahun kemudian, Imam Rajo Besak menjelma kembali. Dia bertemu dengan Rajo Kedum dari Muaro Kalangan, Raden Alit dari Tanjung Raye, dan Puyang dari Muara Danau. Keempat orang ini kemudian dikenal dengan nama empat lawangan (empat pendekar) yang kemudian menjadi cikal bakal kata Empatlawang. Keempat sahabat kemudian menyerang kerajaan Tuban yang dipimpin oleh seorang ratu.
Dalam penyerangan yang dipimpin Imam Rajo besak sebagai panglima mereka mendapatkan kemenangan. Mereka berhasil memasuki istana dan mengambil beberapa benda yang berharga termasuk sebilah keris pusaka Ratu Tuban yang diambil sendiri oleh Rio Tabuan dengan ujung kujur (tombak) pusakanya, karena ketiga temannya tidak mampu. Kedua pusaka ini, hingga saat ini masih tersimpan di jurai tuo (keturunan yang memiliki garis lurus dengan puyang Imam Rajo Besak) yang tinggal di dusun Kunduran.
Puyang Kemiri memberikan sumpah kepada keturunannya yang jika tidak dipatuhi akan mendapat keparat (kualat). Inilah 3 sumpah Puyang Kemiri :
(1) beduo ati dalam dusun nedo selamat (berdua hati di dalam dusun tidak selamat),(2) masukkan risau dalam dusun nedo selamat (memasukkan pencuri di dalam dusun tidak selamat),(3) iri dengki di dalam dusun nedo selamat (iri dengki di dalam dusun tidak selamat).
Selain itu, puyang Kemiri pun memesankan tujuh larangan lagi, yakni:
  1. nyapakan kaparan ke ayik (membuang sampah ke sungai),
  2. mandi pakai baju dan celano (mandi memakai baju dan celana; biasanya orang di dusun kalau mandi memakai telasan (kain penutup tubuh yang dipakai khusus untuk mandi), buang air besar/kecil di atas pohon,
  3. ngambik puntung tegantung (mengambil kayu bakar yang tergantung di pohon),
  4. ngambik putung anyot (mengambil kayu bakar yang hanyut di sungai,
  5. mekik-mekik di ayik dan di hutan (berteriak di hutan atau di sungai),
  6. nganyotkan kukak gebung (menghanyutkan kulit rebung di sungai).
Analisis pesan:
Jika mencermati ketiga sumpah puyang, pertama, agar seseorang tidak boleh bersikap mendua hati, artinya seseorang harus setia pada kesepakatan awal. Tidak boleh memasukkan pencuri atau berkhianat, apalagi menjadi pencuri betulan. Artinya kejujuran merupakan hal yang paling utama dalam meningkatkan kepribadian seorang manusia. Selanjutnya, anak cucu Puyang Kemiri harus bersih hati dari iri dan dengki. Ketiga, norma dasar ini merupakan sikap dasar yang harus dimiliki oleh orang yang baik.Pada bagian kedua, poin satu, dan poin lima, umpamanya, pesan ini berspektif lingkungan.
Bagaimana puyang-puyang dahulu telah memikirkan cara menjaga sungai dan melindungi hutan. Sungai dan hutan yang di dalamnya bergantung kehidupan tumbuh-tumbuhan dan hewan lainnya, merupakan satu mata rantai yang saling membutuhkan. Karenanya, mata rantai ini harus dijaga dalam garis keseimbangan. Simaklah larangan puyang yang tidak boleh membuang sampah di sungai, artinya jika membuang sampah tentu akan membuat sungai tercemar.Poin lima, pesan puyang melarang orang mengambil kayu bakar yang hanyut di sungai.
Jika direnungi lebih lanjut, larangan ini tidak hanya melarang orang mengambil kayu bakar tetapi sebenarnya juga tidak boleh menebang pohon di tepi sungai. Karena biasanya pohon yang hanyut di sungai adalah pohon yang diambil di tepi sungai, atau yang dihanyutkan melalui sungai. Saat ini, kita lihat betapa banyak orang-orang mengangkut gelondongan kayu yang tidak sah (illegal logging) di sungai. Jadi, tidak hanya kayu bakar tetapi kayu-kayu besar sudah dijarah oleh orang-orang yang serakah. Akibatnya bencana banjir menjadi langganan tahunan bagi masyarakat daerah ini.
Poin tujuh, puyang melarang seseorang menghanyutkan kulit rebung yang bermiang (bulu-bulu halus yang menempel di kulit rebung dan akan menyebabkan gatal-gatal jika terkena kulit manusia) di sungai. Maksudnya, kulit rebung yang mengandung miang jika dihanyutkan akan membuat miangnya hanyut dan jika ada orang yang mandi maka dia akan terkena miang yang dapat menyebabkan tubuhnya menjadi gatal. Selanjutnya, pada poin tiga, melarang orang membuang kotorannya di atas kayu. Takutnya jika ada orang lewat di bawahnya tentu akan membuat celaka juga. Jika dipahami lebih luas, poin tujuh adalah larangan puyang agar tidak berbuat yang dapat mengakibatkan orang lain celaka.
Poin dua, dan poin empat merupakan kiasan perbuatan yang dapat mencelakakan diri sendiri. Cobalah pikirkan, jika seseorang mandi pakai baju dan celana, tentu mandinya tidak dapat terlalu bersih dan jika tiba-tiba hanyut, tentu celana dan baju akan menjadi berat jika dibawa berenang. Begitu juga dengan mengambil kayu bakar yang tergantung, salah-salah akan menimpa dirinya.Poin enam dilarang berteriak di sungai dan di hutan. Umumnya masyarakat di uluan Sumatra Selatan melarang berteriak di sungai dan di dalam hutan. Sebab, berteriak di dalam hutan akan mengganggu ketenangan hewan-hewan, dan bahkan bisa mengejutkan binatang buas. Jika binatang buas terkejut tentu saja akan mendatangkan celaka bagi diri sendiri.
Larangan-larangan puyang di atas sebagian besar bersumber dari cerita Puyang Kemiri itu sendiri, misalnya, tentang larangan mengambil kayu bakar yang hanyut, ini ada kaitannya dengan Puyang Seniang Nago yang menyamar menjadi sebatang kayu yang rebah di tepian. Begitu juga dengan sikap hati mendua, dan iri hati di dalam dusun. Hal ini ada kaitannya dengan cerita Puyang Serunting Sakti yang tidak ikhlas menjalankan tugas yang sudah disepakati dan diperintahkan oleh Imam Rajo Besak. Pesan-pesan kearifan lokal seperti ini, jika dilihat secara substansi merupakan nilai-nilai yang universal dan bersumber dari adat. Tetapi seringkali, nilai-nilai yang berlaku secara adat, saat ini dianggap tidak masuk akal dan berbau kemenyan. Padahal, kearifan lokal seperti ini oleh masyarakat adat sangat dipatuhi. Karena mereka sangat yakin, apabila tidak dipatuhi akan mendatangkan balak (malapetaka). Dimana-mana seolah-olah mata puyang selalu mengawasi mereka. Hal ini sangat masuk akal. Saya kira, siapa pun yang melanggar ketentuan Puyang Kemiri akan tidak selamat dan tidak sempurna hidupnya. Bagaimana hidupnya mau selamat jika mendua hati (berhianat), pencuri, dan tidak jujur.
Dari sisi budaya, legenda Puyang Kemiri merupakan modal sosial budaya yang perlu dijaga. Sejatinyalah, legenda Puyang Kemiri merupakan sumber hukum adat yang memiliki nilai-nilai universal, menjunjung persatuan, menjunjung rasa hormat terhadap diri sendiri, rasa hormat terhadap orang lain dan terhadap lingkungan alam lainnya.Selanjutnya tugas para agamawan dan budayawan menyambungkan substansi nilai-nilai tersebut dengan ajaran-ajaran agama Islam yang juga memiliki nilai-nilai yang sama, dan lalu menyambungkannya dengan nilai-nilai yang berkembang dalam era saat ini. Sehingga nilai adat dapat bersinergi dengan nilai agama dan nilai kebudayaan yang telah mengamali kegayauan (kegamangan)

0 komentar:

- Terbunuhnya Puyang-Puyang....!!!!!!!!!!!







Terbunuhnya Puyang-Puyang

Oleh : RICI PIRNANDO

Penulis adalah Direktur Lembaga Budaya Komunitas Batanghari 9 (KOBAR 9)
Suatu hari, sekitar tahun 70-an, ibu saya mengalami cerita aneh saat mencari puntung (kayu untuk memasak) di hutan kawasan dusun Simpang Perigi dan Dusun Kunduran, Kecamatan Ulu Musi, Empat Lawang. Ketika itu , ibu terpisah dari empat orang ibu yang sebelumnya bersamanya, sedangkan hari sudah remang petang. Ibu saya bingung, maklum dia bukan berasal dari dusun setempat. Meski pun ibu saya kelahiran Pagaralam, tapi dia berasal dari etnik Palembang. Dia bisa pergi ke dusun ini karena ikut suami (ayah saya) yang asli dari dusun ini. Dalam kebingungan bercampur kecemasan ibu saya memanggil-manggil nama Ayu (Ayuk/Mbak), salah seorang di antara tiga orang ibu yang bersama-sama dengannya. Tapi tidak ada sahutan sama sekali.
Karena kelelahan, apalagi dengan beban ambinan yang tergantung di kepalanya (beban keranjang yang berisi puntung dan digantungkan di kepala dengan tali yang terbuat dari kayu), akhirnya ibu terduduk lesu. Tetapi tiba-tiba mata ibu melihat seseorang perempuan yang mirip dengan Ayu yang menemaninya tadi. Perempuan itu memakai kain hitam setengah dada, berjalan membelakanginya, dan dengan keranjang tanpa isi. Jaraknya terpaut sekitar 300 meter di depannya. Ibu memanggil nama :”Ayu!, tunggu!”. Tapi perempuan yang dipanggil terus berjalan. Ibu bergegas berdiri dan menyusul perempuan tersebut. Anehnya, jarak antara ibu dan perempuan tersebut tidak mendekat, pun tidak menjauh. Di satu kelokan tebing, perempuan itu menghilang. Ibu terus berjalan dan mencari perempuan itu, tapi tidak menemukannya. Untunglah, ternyata ibu sudah sampai di tepian, tempat penduduk mandi. Berarti ibu sudah menemukan jalan dan tidak beberapa lama lagi akan tiba di dusun.
Esok harinya, ibu menemui Ayu yang mirip dengan perempuan yang ditemui di hutan. Ibu bertanya, apakah dia yang berada di hutan petang kemarin. Jika memang iya, kenapa tidak menyahut ketika dipanggil. Dengan kaget, Ayu menjawab tidak. Katanya, dia sudah duluan pulang ke dusun. Dia dan ibu-ibu yang lain sebenarnya sudah mencari-cari ibu ketika itu, tapi tidak ketemu. Lalu mereka pulang meninggalkan ibu sendirian di dalam hutan. Masalah perempuan yang ditemui itu, menurutnya, itu sebenarnya Puyang. Lain kali, jika tersesat lagi di hutan, ambil pisau, pukulkan belakang pisau di batang pohon tiga kali, maka Puyang akan muncul menolong anak cucunya yang tersesat tersebut. Puyang bisa muncul menyerupai orang dekat yang kita kenal, tetapi dia bukan Masumai yang juga dapat menyamar. Masumai justru akan menculik dan menyesatkan.
Begitulah sekelumit pengalaman nyata yang dialami oleh ibu. Saya kira banyak lagi cerita-cerita serupa yang dialami oleh orang-orang di dusun atau bahkan di kawasan Batanghari Sembilan. Sebenarnya siapakah puyang? Apakah betul puyang itu adalah orang sakti yang meski pun sudah meninggal tetapi tidak mati?
Dalam pengertian sebenarnya, puyang adalah sebutan bagi orang tua dari nenek, atau tiga tingkat generasi pendahulu. Tetapi dalam pengertian seperti cerita di atas puyang tersebut bisa melebihi tiga generasi ke atasnya dan bahkan terkadang sulit ditelusuri lagi garis geneologisnya. Sosok puyang yang diyakini oleh masyarakat ini bisa dalam berbagai bentuk dan fungsinya. Ada puyang yang diyakini menyerupai sosok harimau, sang raja hutan yang berfungsi menjaga hutan, meski pun dia juga dapat menyerupai sosok lainnya. Tetapi bagi masyarakat perairan seperti daerah Pemulutan, meyakini puyangnya menjelma seperti Buaya yang menjaga sungai.
Menurut penafsiran saya, puyang dalam kategori ini, berbentuk abstrak. Atau, kendati pun dahulunya memang pernah hidup dan memiliki ilmu kebatinan yang tinggi (sakti), tetapi telah mendapat bumbu-bumbu cerita yang membuat tokoh puyang menjadi lebih sakti dan ideal. Sehingga ketika mati pun masih dapat berbuat untuk anak cucunya atau dikeramatkan. Menurut keyakinan masyarakat, sebenarnya puyang-puyang tidak mati, hanya silam (menghilang) dan berada di alam gaib. Dia berada di hutan, di sungai, di udara, di dalam rumah, dan di mana-mana, dengan mata yang terus mengontrol perilaku kehidupan anak cucunya. Karena itu, pada masa lalu, aturan-aturan adat begitu efektif.
Ranah sanksi terhadap perbuatan menyimpang, jika diketahui pelaksana adat maka dia wajib menjalankan sanksi, yang ada dalam Pesan Puyang. Jika tidak, maka Puyang sendiri yang akan menjalankan sanksi berupa keparat (kualat) yang bisa jadi berbentu bencana alam atau penyakit fisik dan psikis yang akan dialami oleh pelanggar.
Setiap suku bahkan sub suku (dusun) di wilayah Batanghari Sembilan biasanya memiliki puyang yang sekaligus juga petuah-petuah yang menjadi pandangan hidup (way of life) anak cucunya. Puyang-puyang yang diyakini secara lokal seperti Puyang Atung Bungsu di Besemah, Puyang Ranggonang di Sekayu, Puyang Senuro di dusun Senuro, Puyang Dayang Rindu di Daerah Ogan, Puyang Kemiri di dusun Kunduran Ulu Musi, dan lain sebagainya. Tetapi ada juga puyang yang diakui di seluruh wilayah Batanghari Sembilan, seperti Puyang Serunting, Si Pahit Lidah. Karena banyak yang mengakuinya, cerita Puyang Si Pahit Lidah, juga mengelami berbagai versi daerah, diataranya versi Komering, versi Ogan, versi Besemah, versi Kerinci, dan juga versi Bengkulu Selatan.
Kearifan lokal dalam spirit puyang seharusnya tetap dilestarikan sebagai norma dasar adat dalam bermasyarakat, dan menjaga hubungan dengan lingkungan. Misalnya, bagaimana makna cerita Puyang si Pahit Lidah yang mengajarkan untuk tidak mengumbar lidah secara emosional karena akan mendatangkan mala petaka bagi orang lain dan diri sendiri. Bagi masyarakat sekitar Gunung Dempo yang meyakini peninggalan pra Sejarah seperti Megalitik merupakan sumpahan Si Pahit Lidah, ternyata sangat efektif untuk menjaga kelestarian peninggalan tersebut. Orang-orang menjadi takut keparat (kualat) mengganggu peninggalan tersebut, karena disumpah Puyang Si Pahit Lidah.
Contoh lain dari pesan puyang yang memiliki kearifan adalah pesan Puyang Kemiri yang berupa Rarangan (larangan) Puyang , yakni: (1) beduo ati dalam dusun nedo selamat (berdua hati di dalam dusun tidak selamat), (2) masukkan risau dalam dusun nedo selamat (memasukkan pencuri di dalam dusun tidak selamat), (3) iri dengki di dalam dusun nedo selamat (iri dengki di dalam dusun tidak selamat).
Selain itu, puyang Kemiri pun memesankan tujuh larangan lagi, yakni: satu, nyapakan kaparan ke ayik (membuang sampah ke sungai), dua, mandi pakai baju dan celano (mandi memakai baju dan celana; biasanya orang di dusun kalau mandi memakai telasan (kain penutup tubuh yang dipakai khusus untuk mandi), tiga, buang air besar/kecil di atas pohon, empat, ngambik puntung tegantung (mengambil kayu bakar yang tergantung di pohon), lima, ngambik putung anyot (mengambil kayu bakar yang hanyut di sungai, enam, mekik-mekik di ayik dan di hutan (berteriak di hutan atau di sungai), tujuh, nganyotkan kukak gebung (menghanyutkan kulit rebung di sungai).
Saya kira, masih banyak pesan Puyang di daerah lain yang memiliki hikmah yang bijak dalam menjaga keseimbangan antara diri pribadi, masyarakat dan lingkungan alam sekitar. Tetapi sayangnya, keyakinan terhadap keberadaan puyang-puyang saat ini mulai ditinggalkan oleh masyarakat. Akibatnya, Banyak warga yang tidak takut lagi berbuat sumbang (berzinah) karena tidak ada sanksi adat lagi yang akan di dapatnya akibat perbuatannya itu. Sementara, hukum formil yang berlaku tidak memberikan sanksi perbuatan sumbang jika dilakukan oleh dua orang berlain jenis apabila berdasarkan suka sama suka. Begitu juga dengan masalah lingkungan, banyak warga masyarakat yang tanpa takut kualat lagi untuk menebangi pohon di dalam hutan, sekali pun pada status hutan larangan yang diberikan oleh adat. Padahal, dimana-mana penggundulan hutan telah menyebabkan keparat (Kualat) berupa banjir besar yang mengorbankan harta dan jiwa.
Lalu jika diyakini bahwa puyang berada di dalam hutan, setelah hutan-hutan dihabisi, kemanakah puyang yang sebenarnya berupa ideologi dan pendangan hidup itu berpindah, masih bermukim di hutan tersisakah, atau telah terbunuh oleh virus-virus materialis yang datang bersama angin dari barat.

1 komentar:

- Sumatra Selatan Menjelang Masa Sejarah.....!!!!!!




Sumatra Selatan Menjelang Masa Sejarah 

Letak kawasan pesisir timur Sumatra Selatan dari pendekatan geohistoris punya posisi yang strategis dalam konfigurasi persebaran situs-situs arkeologi di pulau Sumatra. Kedudukan yang terletak antara negeri Cina dan India telah memungkinkan daerah-daerah pesisir di wilayah ini menjadi tempat persinggahan para pedagang dari jalur barat dan timur, pun sebaliknya.
Ahli epigrafi Louis Charles Damais mengatakan, sumber-sumber kesusasteraan asing (luar Indonesia), khususnya dari India, menyebut nama Sumatra, antara lain dari Kitab Milindapanca yang ditulis sekitar abad ke-1 SM, sedangkan Kitab Mahanidesa yang ditulis sekitar abad ke-3 Masehi menyebut nama beberapa pulau, seperti Swarnabhumi (Sumatra), Jawadwipa (Jawa), dan Wangka (Bangka). Demikian pula sumber Cina, antara tahun 245 M sampai 473 M, juga mencatat beberapa nama tempat seperti Tu-po (Cho-ye), Ho-lo-tan, Po-huang, Kan-to-li, dan Ko-ying, yang semuanya terletak di daerah “Laut Selatan” .
Jarak antara “Laut Selatan” dengan negeri Cina sekitar 5000 li. Mengingat catatan tersebut kebanyakan dibuat oleh para pedagang atau musafir dalam pelayarannya dari Cina ke India atau sebaliknya, maka diduga bahwa daerah yang dimaksud dengan “Laut Selatan” dalam catatan Cina tersebut adalah wilayah Indonesia bagian barat, atau terletak di sekitar antara Selat Malaka dan Laut Jawa sekarang. Dalam catatan I-tsing, yang ditulis sekitar abad ke-7 Masehi, terdapat nama-nama daerah yang langsung berhadapan dengan laut atau disebut chou yang terletak di pantai timur Sumatra. Menurut I-tsing, nama-nama tersebut dari arah barat adalah Po-lu-shi, Mo-le-you, Mo-ho-sin, dan Ho-ling. Menurut peneliti Wolters, Po-lu-shi itu identik dengan nama Barus, suatu tempat yang terletak di bagian utara pulau Sumatra. Sementara, peneliti Takakusu menginterpretasikan Mo-ho-sin sebagai nama Mukha Asin yang identik dengan Banyu Asin (Banyuasin).
Walaupun saat itu masyarakat Nusantara belum mengenal tulisan, namun dari catatan di atas diuraikan bahwa pulau-pulau tertentu di Nusantara kala itu sangat subur dan menghasilkan beras, emas, cula badak, kayu cendana, dan komoditas lain. Menurut hasil penelitian, J.L. Brandes, ahli tentang kebudayaan Nusantara, menjelang masuk ke periode sejarah (mulai mengenal tulisan), penduduk Nusantara telah mengenal beberapa kepandaian, yakni dapat membuat figur manusia atau hewan (patung atau arca), mengenal pola-pola hias, mengenal instrumen musik, mengetahui cara mengecor logam, mengembangkan tradisi lisan, mengenal alat tukar, mengenal teknik navigasi, mengetahui ilmu astronomi, melaksanakan irigasi pertanian, dan mengenal tatanan masyarakat yang sudah teratur dan tertata baik.
Munculnya kerajaan Sriwijaya di bumi Nusantara menimbulkan sejumlah pertanyaan, terutama berkaitan dengan masa-masa pra-Sriwijaya. Realitas sejarah menunjukkan pada abad ke-7 muncul sebuah kerajaan (Sriwijaya) yang dalam waktu relatif singkat dapat berkembang menjadi besar dan kuat sehingga memegang peranan dan berpengaruh di kawasan Asia.
Sekitar satu abad menjelang munculnya Sriwijaya, di pesisir timur Sumatra mulai memperlihatkan kemajuan yang berarti. Di Kota Kapur, pulau Bangka (tempat ditemukannya Prasasti Kota Kapur dari masa Sriwijaya), telah ditemukannya dua buah candi (Candi I dan II) yang terbuat dari material batu putih. Hasil penelitian karbon (C14) yang diperoleh dari tempat di bawah reruntuhan candi, memperlihatkan suatu usia (awal abad ke-6 Masehi) yang berarti lebih tua dari umur kemunculan Sriwijaya.
Pada bangunan Candi II, yang tersisa hanya bagian kaki candinya itu, di bagian tengahnya terdapat sebuah batu bulat yang menancap menyerupai menhir. Pada salah satu sisinya, terdapat tanda-tanda adanya saluran kecil semacam somasutra yang menghubungkan antara menhir itu dengan bagian sisi luar bangunan. Pada sisa bangunan Candi I, para peneliti juga menemukan dua arca serta sejumlah pecahan (fragmen) tangan arca. Kedua arca tersebut menggambarkan arca Wisnu yang secara ikonografis (ilmu tentang arca kuno) dapat dikelompokkan sebagai arca-arca produk abad ke-6 Masehi pula.
Selain penemuan yang bersifat artefak aktivitas religius itu, pada tahun 2000-an, di pemukiman transmigrasi Karangagung Tengah, desa Karangmukti dan Mulyo-agung, Kecamatan Bayunglincir, Kabupaten Musi Banyuasin, Provinsi Sumatra Selatan ditemukan situs pemukiman masyarakat kuno yang diduga hidup pada menjelang masa sejarah (abad ke-4 Masehi). Hal ini membuktikan, bahwa sebelum kemunculan Sriwijaya sebagai kekuatan besar di kawasan Asia pada sekitar abad ke-7 Masehi, telah ada masyarakat yang memiliki pemukiman padat di wilayah Sumatra Selatan.

Kerajaan-kerajaan Awal di Nusantara.
Setelah tulisan atau aksara mulai digunakan di Nusantara, maka perjalanan sejarah di bumi Nusantara memasuki lembar baru, yaitu babak sejarah. Sumber sejarah Indonesia di masa-masa awal (purba) sangatlah terbatas jumlahnya. Sumber sejarah dalam negeri yang ada hanya berupa benda-benda temuan bersifat artefaktual, khususnya batu bertulis atau prasasti, namun yang cukup membantu adalah adanya sumber-sumber asing berupa berita atau catatan-catatan (kronik) terutama dari Cina, India, dan juga Arab.
Diberitakan, setelah hubungan pelayaran dan perdagangan dunia ketika itu khususnya di wilayah Asia semakin ramai, dengan ditemukannya jalur laut antara Romawi dan Cina. Rute baru jalur laut hubungan dagang antara Cina dengan Romawi itu, nampaknya telah mendorong pula hubungan dagang pada daerah-daerah yang dilalui, termasuk wilayah Nusantara. Karena posisi Nusantara yang strategis di tengah-tengah jalur hubungan dagang Cina dengan Romawi, maka terjadilah hubungan dan transaksi dagang antara Nusantara dengan Cina dan juga India.
Melalui hubungan dagang antara Nusantara dengan India, maka secara lambat laun budaya dan agama Budha-Hindu masuk, dianut oleh para raja-raja dan bangsawan, kemudian tersebar di Nusantara. Berawal dari keluarga raja dan para bangsawan itulah agama Budha-Hindu tersebar luas sampai ke lingkungan rakyat biasa.
Dalam sejarahnya, penyiaran budaya dan agama Budha lebih dahulu masuk ke Nusantara dibandingkan dengan budaya dan agama Hindu. Tersiarnya ajaran Budha di Nusantara itu, diperkirakan sejak abad ke-2 Masehi, dibuktikan dengan penemuan beberapa patung batu, beberapa diantaranya ditemukan di Palembang. Sejak masuknya pengaruh budaya dan agama Budha-Hindu di Nusantara, maka semula masyarakatnya hanya mengenal sistem suku atau kepala suku (interpares), lambat laun berganti dengan sistem raja atau kerajaan.

Kerajaan Kutai
Diawali ketika Prasasti Kutai yang berangka tahun 400 M ditemukan di pulau Kalimantan, maka dapat diketahui bahwa pada saat itulah masa sejarah Indonesia dimulai. Nama prasasti ini disesuaikan dengan nama daerah tempat penemuannya, yakni di daerah Kutai, di hulu sungai Mahakam, Kalimantan Timur. Dari prasasti lain yang berhasil ditemukan di daerah ini, tidak satupun yang menyebutkan nama kerajaan tersebut, sehingga oleh para ahli, kerajaan ini diberi nama kerajaan Kutai dan disepakati merupakan kerajaan tertua di Indonesia.
Kerajaan Kutai mendapat pengaruh budaya dan agama Hindu. Raja-raja Kutai yang dapat diketahui adalah Kudungga (kepala suku yang menjadi raja), Aswawarman, dan Mulawarman. Di masa pemerintahan Mulawarman inilah kerajaan Kutai mengalami masa keemasan, rakyatnya dapat hidup sejahtera dan aman.

Kerajaan Tarumanegara
Setelah ditemukannya Prasasti Kutai, di wilayah Ciaruteun (Bogor), Jawa Barat, juga ditemukan prasasti batu bertulis, dikenal sebagai Prasasti “Batutulis” Bogor, yang tidak terdapat angka tahunnya. Namun dengan perbandingan huruf Pallawa dan bahasa Sanskerta yang digunakan, prasasti ini diperkirakan berasal dari masa ± abad ke-5 Masehi. Pada prasasti itu disebutkan bahwa di daerah ini ada kerajaan yang bernama kerajaan Tarumanegara dengan rajanya yang bernama Purnawarman.
Dalam berita Cina pada masa Dinasti Tang, seorang pendeta Cina yang bernama Fa-Hien pernah terdampar di pantai pulau Jawa (414 M). Selanjutnya dia menuliskan bahwa masyarakat yang dijumpainya itu, telah mendapat pengaruh Hindu dan merupakan masyarakat kerajaan Tarumanegara. Pada Prasasti Ciaruteun, dipahatkan dua buah tapak kaki seperti tapak kaki Dewa Wisnu yang merupakan simbol tapak kaki Purnawarman sebagai raja yang gagah berani.
Menurut Nia Kurnia Sholihat Irfan yang mengutip pendapat Louis Charles Damais, pada awal atau sebelum kerajaan Tarumanegara mendapat pengaruh Hindu, nama kerajaan ini adalah kerajaan Aruteun, mengingat berita-berita Cina yang menyebutkan adanya kerajaan yang bernama Ho-lo-tan (Aruteun).

Kerajaan Holing
Dalam berita Cina lain, masih dalam masa Dinasti Tang, seorang pendeta yang bernama I-tsing menyebutkan sahabatnya pergi ke suatu tempat yang bernama Holing pada tahun 664 M untuk mempelajari agama Budha. Selain itu, juga diberitakan bahwa kerajaan Holing telah beberapakali mengirim utusan ke Cina. Kerajaan Holing tersebut diperintah oleh seorang raja putri yang bernama Ratu Sima. Diberitakan juga dalam menjalankan pemerintahannya, kebijakan Ratu Sima sangat keras, namun adil dan bijaksana.
Lokasi atau letak kerajaan Holing sampai sekarang masih menjadi bahan perdebatan para ahli sejarah. Berdasarkan berita-berita asing, diperkirakan kerajaan Holing terletak di pulau Jawa, yaitu Kalingga di Jawa Tengah atau Keling di lembah sungai Brantas. Namun menurut J.L. Moens, kerajaan Holing itu terletak di Semenanjung Malaka (Malaysia), karena di daerah Malaka ini juga ditemukan sebuah daerah yang bernama Keling.
Terlepas dari keragaman pendapat para ahli sejarah tersebut, yang jelas kerajaan Holing ini diduga kuat terletak di pulau Jawa. Hal tadi didasarkan pada kata She-po yang juga dipakai sebagai nama lain dari Holing, dan kata She-po ini merupakan penyebutan orang Cina untuk nama Jawa.

Kerajaan Bangka
Ketika pendeta I-tsing, berdasarkan catatan perjalanannya tahun 685 M, urut-urutan negeri dari barat ke timur, dituliskan nama Mo-ho-hsin sesudah Shih-li-fo-shih (Sriwijaya) dan sebelum Ho-ling. Artinya, Mo-ho-hsin terletak di antara Sriwijaya dan Holing. Menurut Nia Kurnia Sholihat Irfan, setidak-tidaknya pelayaran dari Sriwijaya ke Holing harus terlebih dahulu melalui tempat yang bernama Mo-ho-hsin.
Para ahli sejarah masih belum sampai pada kata sepakat dalam mengidentifikasi tentang Mo-ho-hsin. Namun, berdasarkan Prasasti Kota Kapur yang ditemukan di pantai barat pulau Bangka menunjukkan, pada abad ke-7 Masehi di daerah ini terdapat sebuah negeri taklukan Sriwijaya yang cukup penting, sehingga raja Sriwijaya merasa perlu untuk menempatkan salah satu prasasti persumpahannya di pulau Bangka.
Sampai sekarang memang belum dapat dipastikan terjemahan yang tepat terhadap kata Mo-ho-hsin. Menurut Nia Kurnia Sholihat Irfan, besar kemungkinan kata Mo-ho-hsin berhubungan dengan kata Sanskerta, moha, yang berarti “bingung” atau “linglung.” Dengan demikian, mungkin bukan suatu kebetulan jika sekarang pulau ini bernama Bangka, karena dari sana timbul istilah tua-bangka yang biasanya ditujukan kepada orang yang sudah tua dan bingung.

Kerajaan Seputih
Pada catatan pendeta Fa-Hsien (414 M), diberitakan kapal yang ditumpanginya terdampar di negeri yang bernama Yeh-po-ti. Identifikasi para ahli sejarah tentang negeri ini juga masih simpang-siur.
Adalah G.E. Gerini berpendapat bahwa Yeh-po-ti terletak di pantai timur Sumatra, namun lokasi tepatnya tidak dijelaskan. Nia Kurnia Sholihat Irfan berpendapat bahwa Yeh-po-ti adalah terjemahan dari nama Seputih, daerah sekitar Way Seputih, daerah pantai timur Lampung. Menurut data arkeologi, di daerah ini pernah berkembang suatu negeri, yaitu dengan ditemukannya lingga dan arca Hindu yang besar dan patung Dewi Hindu. Pada abad ke-7 Masehi, kerajaan Seputih ini sudah berada dalam taklukan kekuasaan Sriwijaya.

Kerajaan Talangpedang
Dalam berita Cina tercatat dua buah negeri yang dituliskan berurutan, yakni To-lang dan Po-hwang, sebagai nama negeri di “Laut Selatan”. Oleh Gabriel Ferrand pada tahun 1918, kedua nama itu digabungkan menjadi satu menjadi To-lang-po-hwang. Lalu lokasinya dinyatakan di Tulangbawang (sekarang Lampung Utara). Argumen Gabriel itu tidak lebih dari dugaan semata, karena hingga kini tidak ada bukti data arkeologis yang mendukung pendapat ini. Menurut pendapat beberapa peneliti sejarah, To-lang dan Po-hwang merupakan dua nama tempat yang berbeda.
Kemungkinan yang lebih mendekati adalah nama To-lang mungkin ada hubungannya dengan Talangpedang, nama daerah yang sekarang terletak di sebelah barat Tanjungkarang, Lampung. Di Talangpedang ditemukan data arkeologis yang masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Namun yang jelas, setelah Talangpedang ditaklukkan oleh Sriwijaya, namanya kemudian menghilang atau tidak disebut-sebut lagi dalam berita-berita Cina selanjutnya.

Kerajaan Bawang
Berita Cina menyebutkan negeri Po-hwang mengirim utusannya pada tahun 442 M, 449 M, 451 M, 459 M, 464 M, dan 466 M. O.W. Wolters dari Universitas Cornell berpendapat, nama Po-hwang merupakan terjemahan dari nama Bawang, namun tidak disebutkan lokasi tepatnya.
Di daerah Bawang, negeri Sekala Bekhak, Lampung Utara, telah ditemukan prasasti persumpahan Sriwijaya. Hal ini membuktikan bahwa di daerah Bawang dahulu pernah ada sebuah negeri yang cukup penting. Pada abad ke-5 Masehi, kerajaan Bawang (Po-hwang) itu, berkali-kali mengirim utusan ke negeri Cina. Namun setelah kerajaan Bawang ditaklukkan Sriwijaya pada abad ke-7 Masehi, namanya juga menghilang dari catatan-catatan musafir Cina.

Kerajaan Melayu
Khusus di wilayah pulau Sumatra, menurut catatan I-tsing, disebutkan bahwa pada tahun 671 M di Jambi atau lebih tepatnya di tepian sungai Batanghari, merupakan pusat kerajaan Melayu. Kronik atau catatan Hsin-tang-shu pernah mencatat ada utusan dari negeri Mo-lo-yu (Melayu) datang ke istana kekaisaran Cina pada tahun 644-645 M.
Walaupun menurut catatan I-tsing, Kerajaan Melayu pada abad ke-7 M secara politik telah tunduk dan berada dalam kekuasaan kerajaan Sriwijaya. Berdasarkan catatan dan peninggalan-peninggalan sejarah yang ada seperti keberadaan kompleks percandian di Muaro Jambi, merupakan kompleks percandian terluas di Indonesia, tidak dapat dipungkiri kerajaan ini merupakan kerajaan yang cukup penting dan berpengaruh khususnya di Sumatra kala itu, terutama setelah masa keemasan kerajaan Sriwijaya mulai memudar. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa Jambi tidak dapat dipisahkan dari kebesaran kerajaan Melayu, baik kerajaan Melayu kuno (pra-Sriwijaya) maupun kerajaan Melayu setelah masa Sriwijaya.
Berdasarkan penelitian geomorfologi terhadap pantai timur Sumatra yang dilakukan oleh tim Dinas Purbakala Indonesia tahun 1954, pada kurun waktu abad ke-7 Masehi, wilayah Jambi dan Palembang masih terletak di tepi laut. Posisi Palembang dan Jambi hari ini adalah karena terjadinya proses sedimentasi selama berabad-abad. Hasil penelitian itu sangat mendukung keberadaan kerajaan-kerajaan besar, seperti kerajaan Melayu dan Sriwijaya, memang memiliki posisi yang sangat strategis bagi akses dunia pelayaran atau perdagangan jalur laut internasional kala itu.

KERAJAAN SRIWIJAYA...!!!

Kemunculan dalam Pentas Sejarah
Pulau Sumatra masuk dalam kajian sejarah Indonesia, sejak munculnya kerajaan Sriwijaya sekitar abad ke-7 Masehi. Munculnya kerajaan ini dalam pentas sejarah Indonesia ditandai dengan beberapa inskripsi; sejumlah prasasti, sejumlah arca, dan didukung kuat oleh literatur dari catatan-catatan (kronik) musafir Cina. Sejak tahun 604-an tersebut, sebuah kekuatan politik telah menguasai beberapa tempat, khususnya di wilayah Nusantara bagian barat.
Istilah Sriwijaya bagi bangsa Indonesia sekarang ini bukanlah suatu hal yang asing lagi, nama itu telah masuk dalam perbendaharaan bahasa Indonesia. Pengetahuan mengenai sejarah kerajaan Sriwijaya muncul pada awal abad ke-20 Masehi. Nama Sriwijaya mulai muncul dan dikenal tahun 1918, sejak George Coedes, peneliti berkebangsaan Perancis, menulis buku berjudul Le Royaume de Çriwijaya (Kerajaan Sriwijaya).
Sebelum Coedes menulis karangan Le Royaume de Çriwijaya yang fenomenal itu, pada tahun 1718, E. Renaudot telah menerjemahkan naskah Arab yang berjudul  “Akhbaru ‘s-Shin wa ‘l-Hind” (Kabar-kabar Cina dan India) yang ditulis oleh seorang musafir Arab bernama Sulaiman pada tahun 851 M. Naskah itu menceritakan adanya sebuah kerajaan besar di daerah Zabaj (Jawa). Istilah atau kata “Jawa” yang dimaksudkan oleh orang Arab kala itu adalah seluruh wilayah kepulauan Indonesia saat ini. Lalu tahun 1845, J.T. Reinaud menerjemahkan catatan Abu Zaid Hasan yang mengunjungi Asia Tenggara tahun 916 M. Catatan Abu Zaid Hasan mengatakan bahwa maharaja Zabaj bertahta di negeri Syarbazah yang ditransliterasikan oleh J.T. Reinaud menjadi Sribuza.
Catatan atau kronik Cina yang berasal dari abad ke-7 dan ke-8 Masehi banyak menyebutkan keberadaan sebuah negeri atau kerajaan di Nan-hai (Laut Selatan) yang bernama Shih-li-fo-shih. Setelah melalui penelahaan yang mendalam oleh para pakar sejarah, disepakati bahwa Shih-li-fo-shih merupakan transliterasi dari Sriwijaya (kerajaan Sriwijaya).
Sumber-sumber berita dari negeri Cina menyebutkan keberadaan Shih-li-fo-shih berdasarkan kronik Dinasti Tang (618-902 M), kronik perjalanan pendeta Budha I-tsing (671 M), kronik Dinasti Sung (960-1279 M), kronik Ling-wai Tai-ta oleh Chou Ku Fei (1178 M), kronik Chu-fan-chi oleh Chau Ju-kua (1225 M), kronik Tao Chih Lio oleh Wang Ta Yan (1345 M), kronik Dinasti Ming (1368-1643 M), dan kronik Ying-yai Sheng-lan oleh Ma Huan (1416 M).
Kata Sriwijaya dijumpai pertamakali tertulis di Prasasti Kota Kapur di pulau Bangka. Prasasti yang ditemukan tahun 1892 dan berangka tahun 608 Saka atau 686 M memuat keterangan Sriwijaya menaklukkan bumi Jawa yang tidak tunduk kepada Sriwijaya.
Pada tahun 1913, peneliti Hendrik Kern mengindentifikasikan Sriwijaya adalah nama seorang raja, yaitu Raja Wijaya. Alasannya, karena gelar Sri biasanya dipakai sebagai sebutan atau gelar seorang raja. Lima tahun kemudian (1918) pendapat Kern dibantah oleh Coedes. Coedes berpendapat, berdasarkan telaah teks pada Prasasti Kedukan Bukit yang ditemukan di Palembang dan catatan-catatan perjalanan para pendeta Cina bahwa Sriwijaya adalah nama sebuah kerajaan.
Alasan-alasan Coedes adalah, pertama, dalam Prasasti Kota Kapur; pada baris ke-2 tercantum kalimat kedatuan Çriwijaya (kerajaan Sriwijaya), baris ke-4 tercantum kalimat datu Çriwijaya (raja Sriwijaya), dan baris ke-10 tercantum kalimat walla Çriwijaya (tentara Sriwijaya). Kedua, dalam Prasasti Ligor tertulis jelas ungkapan Çriwijayendraja (raja Sriwijaya). Ketiga, Prasasti yang dikeluarkan raja India, Raja I, pada tahun 1006, yang dikenal dengan nama Piagam Leiden (karena tersimpan di Leiden, Belanda), menyebutkan istilah Marawijayatunggawarman, raja Çriwijaya (Sriwijaya) dan Kataha (Kedah). Dan keempat, nama Çrivijayam (Sriwijaya) juga terdapat dalam daftar nama-nama negeri yang disebut oleh raja Chola (Cholomandala), Rajendracola I, pada tahun 1025, seperti yang tercantum dalam prasasti yang ditemukan di Tanjore, India Selatan.
Selain itu, Coedes mengemukakan bahwa nama Sriwijaya yang ditransliterasikan dalam kronik-kronik Cina dengan nama Shih-li-fo-shih atau San-fo-tsi adalah kerajaan Sriwijaya. Sejak tahun 1918, kerajaan Sriwijaya makin populer di kalangan para peneliti sejarah. Para peneliti sejarah banyak yang tertarik untuk menulis tentang Sriwijaya, di antaranya, J.P. Vogel menulis karangan Het Koninkrijk Çrivijaya, tahun 1919.
Tahun itu juga, dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar Universitas Leiden, N.J. Krom bertema sejarah Sriwijaya dengan judul “De Sumatraansche Periode des Javaansche Geschiedenis” (bukunya berjudul Hindoe Javaansche Geschiedenis terbit tahun 1926). Tahun 1920, C.O. Blagden menulis karangan The Empire of the Maharaja, King of The Mountains and Lord of the Isles. Dua tahun kemudian atau pada tahun 1922, G. Ferrand juga menyusun sejarah Sriwijaya secara lebih sistematis dan kronologis dengan judul L’Empire Sumatranais de Çrivijaya.
Peran Coedes dalam mengangkat keberadaan Sriwijaya yang telah berabad-abad terpendam, banyak berpengaruh dalam penulisan sejarah Sriwijaya pada periode selanjutnya. Bukti-bukti keberadaaan kerajaan Sriwijaya ini diperkuat lagi dengan ditemukannya dua prasasti di Palembang tahun 1920, yaitu Prasasti Kedukan Bukit dan Prasasti Talang Tuwo.

Prasasti dan Arca
Prasasti merupakan sumber sejarah tulisan berupa benda atau artefak yang berbentuk tiga dimensional, seperti batu, logam, kayu, dan lain-lain. Berita mengenai kerajaan Sriwijaya mulai dikenal dan semakin populer sejak ditemukannya beberapa prasasti yang umumnya berasal dari abad ke-7 Masehi.
Menurut arkeolog Bambang Budi Utomo, prasasti-prasasti yang ditemukan di wilayah Sumatra bagian selatan/tenggara berkisar 31 prasasti yang sebagian besar berasal dari masa Sriwijaya. Prasasti yang berasal dari abad k-7 Masehi berjumlah 25 buah. Isinya berkenaan dengan persumpahan dan siddhayatra (perjalanan suci). Sebagian besar prasasti tersebut ditemukan di wilayah Palembang saat ini, yakni 23 buah prasasti, termasuk Prasasti Kedukan Bukit, Talang Tuwo, Telaga Batu, dan Boom Baru. Keterangan prasasti-prasasti tersebut adalah sebagai berikut.

Prasasti Kedukan Bukit
Prasasti Kedukan Bukit ditemukan pada akhir 29 November 1920 di kebun pak H. Jahri, tepi sungai Tatang, desa Kedukan Bukit di kaki Bukit Siguntang yang letaknya di sebelah barat daya Palembang, Sumatra Selatan saat ini. Prasasti itu dikenali oleh seorang kontrolir Belanda yang penggemar sejarah, Batenburg, yang kemudian melaporkan penemuan itu ke Dinas Purbakala (Oudheidkundigen Dienst).
Prasasti yang berbentuk bulat-telur tersebut merupakan prasasti tertua dari masa Sriwijaya dengan angka tahun 604 Saka atau 682 M (tahun Saka dikonversi dengan tahun Masehi ditambah 78 tahun), terbuat dari batu andesit dengan ukuran panjang batu lebih-kurang 42 cm dan kelilingnya 80 cm. Sekarang, prasasti yang terdiri dari sepuluh baris, ditulis dengan huruf Pallawa, dan berbahasa Melayu Kuno ini disimpan di Museum Nasional Jakarta.
Teks Prasasti Kedukan Bukit:
(1)swasti sri sakawarsatita 605 ekadasi su (2) klapaksa wulan waisakha dapunta hiyam nayik di (3) samwau manalap siddhayatra di saptami suklapaksa (4) wulan jyestha dapunta hiyam marlapas dari minana (5) tamwan mamawa yam wala dualaksa danan ko- (6) duaratus cara di samwau danan jalan sariwu (7) tluratus sapulu dua wanakna datam di mata jap (8) sukhacitta di pancami suklapaksa wula [n]… (9) laghu mudita datam marwuat wanua … (10) sriwijaya jaya siddhayatra subhiksa …
Terjemahan oleh G. Coedes:
Kemakmuran! Keberuntungan! Pada tahun Saka telah lewat 605, hari kesebelas paruh terang bulan Waisakha, Sri Baginda naik kapal mengambil kesaktian. Hari ketujuh paruh terang bulan Jyestha, raja membebaskan diri dari […]. ia memimpin bala tentara yang terdiri dari dua puluh ribu [orang]; pengikut […] sejumlah dua ratus orang menggunakan perahu, pengikut yang berjalan kaki sejumlah seribu tiga ratus dua belas orang tiba di hadapan [raja?], bersama-sama, dengan sukacitanya. Hari kelima paruh terang bulan […], ringan, gembira, datang dan membuat negeri […] Sriwijaya, sakti, kaya […].
Isi teks Prasasti Kedudukan Bukit di atas menyebutkan perjalanan Dhapunta Hyang bersama balatentaranya untuk mendirikan wanua atau suatu wilayah, sehingga akhirnya Sriwijaya menang dan makmur.

Prasasti Talang Tuwo
Prasasti Talang Tuwo ditemukan di sekitar muara sungai Lambidaro dan ujung sungai Sekanak, desa Talang Tuwo (sekarang masuk Kecamatan Talang Kelapa) pada 17 November 1920 oleh  L.C. Westenenk, pejabat Belanda yang bertugas di Palembang. Desa ini termasuk dalam kawasan Gandus, di sebelah barat Palembang. Prasasti yang terdiri dari 14 baris ini berhuruf Pallawa, berbahasa Melayu Kuno, dan berangka tahun 606 Saka (684 M). Prasasti yang berbentuk persegi empat (jajaran genjang) ini sekarang disimpan juga di Museum Nasional Jakarta.
Teks Prasasti Talang Tuwo:
(1) swasti sri sakawarsatita 606 dim dwitiya suklapaksa wulan caitra sana tatkalana parlak sriksetra ini niparwuat (2) parwandha punta hiyam  srijayanasa ini pranidhananda punta hiyam sawanakna yam nitanam di sini niyur pinam hanau ru (3) mwiya dnan samisrana yam kayu nimakan wuahna  tathapi haur wuluh pattum ityewamadi  punarapi yam parlak wukan (4) dnan tawad talaga sawanakna yam wuatku sukarita parawis prayojanakan punyana sarwwasatwa sakaracara   waro payana tmu (5) sukha  di asannakala di antara margga lai  tmu muah ya ahara dnan air niminumna  sawanakna wuatna huma parlak mancak mu (6) ah ya mamhidupi pasu prakara marhulun tuwi wrdddhi muah ya janan ya niknai sawanakna yam upasargga pidanu swapnawigha waram wua (7) tana kathamapi anukula yam graha naksatra parawis diya nirwyadhi ajara kawuatanana  tathapi sawanakna yam bhrtyana (8) satyarjjawa drdhabhakti muah ya dya  yam mitrana tuwi janan ya kapata yam minina mulan anukula bharyya muah ya  waram stha….
Terjemahan oleh G. Coedes:
Kemakmuran! Keberuntungan! Tahun Saka 606, hari kedua paruh bulan Çaitra: pada saat itulah taman ini (yang dinamai) Sriksetra dibuat di bawah pimpinan Sri Baginda Sri Jayanasa. Inilah niat Sri Baginda: Semoga segala yang ditanam di sini, pohon kelapa, pinang, aren, sagu dan bermacam-macam pohon, buahnya dapat dimakan, demikian pula bambu haur, wuluh dan pattum, dan sebagainya; dan semoga juga taman-taman lainnya dengan bendungan-bendungan dan kolam-kolamnya, dan semua amal yang saya berikan, dapat dipergunakan untuk kebaikan semua mahluk, yang dapat pindah tempat dan yang tidak, dan bagi mereka menjadi jalan terbaik untuk mendapatkan kebahagiaan. Jika mereka lapar waktu beristirahat atau dalam perjalanan, semoga mereka menemukan makanan serta air minum. Semoga semua kebun yang mereka buka menjadi berlebih [panennya]. Semoga suburlah ternak bermacam jenis yang mereka pelihara, dan juga budak-budak milik mereka. Semoga mereka tidak terkena malapetaka, tidak tersiksa karena tidak bisa tidur. Apa yang mereka perbuat, semoga semua planet dan rasi menguntungkan mereka, dan semoga mereka terhindar dari penyakit dan ketuaan selama menjalankan usaha mereka. Dan juga semoga semua hamba mereka setia pada mereka dan berbakti, lagi pula semoga mana pun mereka berdoa, semoga di tempat itu tidak ada pencuri, atau orang yang mempergunakan kekerasan, atau pembunuh, atau penzinah. Selain itu, semoga mereka mempunyai seorang kawan sebagai penasihat baik; semoga dalam diri mereka lahir pikiran Bodhi dan persahabatan ….
Inti isi dari Prasasti Talang Tuwo tersebut menyebutkan tentang pembuatan Taman Sriksetra oleh raja Sriwijaya yang bernama Sri Jayanasa.

Prasasti Telaga Batu
Prasasti Telaga Batu ditemukan pada tahun 1935 di Telaga Batu, Sabokingking 2 Ilir, Palembang tidak berangka tahun. Prasasti yang dihiasi gambar kepala ular kobra berkepala tujuh ini tediri dari 28 baris. Menurut F.M Schnitger prasasti ini berasal dari abad ke-9 Masehi atau ke-10 Masehi, tetapi menurut J.G. de Casparis prasasti ini berasal dari pertengahan abad ke-7 Masehi.
Bentuk (rupa) prasasti ini dibandingkan dengan prasasti lain dinilai paling artistik dan indah, berbentuk telapak kaki, menunjukkan masyarakat Sriwijaya telah memiliki seniman patung yang mumpuni. Di lokasi situs ini juga ditemukan batu yang bertuliskan sidhayatra (perjalanan kemenangan atau suci). Diperkirakan tempat ini merupakan suatu tempat berziarah yang penting ketika itu.
Dilihat dari perupaan Prasasti Telaga Batu ini, yang tampak adalah tujuh kepala ular kobra dan pada bagian bawah prasasti terdapat bentuk rel atau saluran yang simetris antara kiri dengan kanan dan bertemu di bagian tengahnya seperti pancuran air. Dari bentuk dan perupaan pancuran itu menggambarkan dua alat kelamin sekaligus (hermaprodit), yang bila dihubungkan dengan kosmologi mistis merupakan simbol kesuburan. Prasasti ini adalah satu-satunya prasasti Sriwijaya yang bukan hanya berisi tulisan, tetapi juga terdapat bentuk atau image. Ketujuh kepala ular kobra yang ada pada bagian atas prasasti dapat diinterpretasikan sebagai upaya raja Sriwijaya untuk menjaga agar isi atau teks prasasti yang dipahatkan itu tetap dipatuhi. Sekarang ini, prasasti yang berbahasa Melayu Kuno dan berhuruf Pallawa ini, disimpan di Museum Nasional, Jakarta.
Teks Prasasti Telaga  Batu
(1) om siddham titam hamwan wari awai kandra kayet nipaihumpa, an amuha ulu (2) lawan tandrum luah makamatai tandrun luah an hakairu muah kayet nihumpa unai ume (3) ntem bhakti ni ulun haraki unai tunai kamu wanak mamu rajaputra, prostara, bhupati, senapati, nayata, pratyaya, hajipratyaya, dandanayaka (4) …. murddhaka tuha an watakwuruh, addhyaksi nijawarna, vasikarana, kumaramatya, cathabhata, adhikarana, karmma, kayastha, sthapaka, puhawan, waniyaga, pratisara da (5) kamu marsi haji, hulun hajo, wanak mamu uram niwunuh sumpah  dari mammam kamu kadaci kamu tida bhakti dyaku niwunuh kamu sumpah tuwi mulam kadasi kamu drohaka wanun luwi yam marwuddhi.
Terjemahan oleh G. Coedes:
Om! Semoga berhasil…. Kamu semua, berapapun banyaknya, putra raja…, bupati, senapati, nayaka, pratiyaya, orang kepercayaan (?) raja, hakim, pemimpin… (?) kepala para buruh, pengawas kasta rendah, vasikarana, kumaramatya, catabhata, adhikarana…,…(?), pekerja, pemahat, nakhoda, pedagang, pemimpin,…(?), dan kamu tukang cuci rajadan budak raja. Kamu semua akan mati oleh kutukan ini, jika kamu tidak setia kepadaku, kamu akan mati oleh kutukan. Selain itu, jika kamu berlaku sebagai penghianat, berkomplot dengan orang-orang (?)…
Isi teks Prasasti Telaga Batu pada dasarnya juga merupakan suatu kutukan raja Sriwijaya kepada para pengikutnya; para pembesar.

Prasasti Kota Kapur
Prasasti ini ditemukan pada Desember 1892 di lahan yang dikelilingi benteng tanah di tepi sungai Mendo, desa Kota Kapur, sebelum desa Penagan, Kecamatan Mendo Barat, Kabupaten Bangka. Prasasti Sriwijaya yang berangka tahun 686 M ini, tingginya 150 cm. Berisi teks yang terdiri dari 10 baris, berhuruf Pallawa, dan berbahasa Melayu Kuno. Sekarang prasasti ini disimpan di Museum Nasional, Jakarta.
Prasasti Kota Kapur ini bila dilihat secara perupaan sangat berbeda dengan prasasti-prasasti Sriwijaya lainnya, karena bentuk prasasti ini vertikal menyerupai menhir pada masa tradisi megalitik.
Teks Prasati Kota Kapur:
siddha titam hamwan wari awai kandra kayet ni paihumpaan namuha ulu lawan tandrun luah makamatai ta ndrum luah minunu paihumpaan hakairu muah kayet nihumpa u nai tunai (2) umentem bhakti niulun haraki  unai tunai  kita sawanakta de wata mahar dhika  sannidhana  mamraksa yam kadatuan sriwijaya  kita tuwi tandrun luah wanakta dewata mulana yam parsumpahan (3) parawis kadaci yam uram di dalamna bhumi ajnana kadatuan ini parawis drohaka hanun samawuddhi la wan drohaka  manujari drohaka  niujari drohaka tahu dim drohaka  niujari drohaka tahu dim drohaka  tida ya (4) mar padah tida ya bhakti tida ya tatwarjjawa diy aku dnan di iyam nigalarku sanyasa datua  dhawa wuatna uram inan  niwunuh ya sumpah nisuruh tapik ya mulam parwwandan datu sriwi(5)jaya  talu muah ya dnan gotrasantanana  tathapi  sawanakna yam wuatna jahat makalanit uram  makasa kit  makagila  mantra gada  wisaprayoga  upuh tuwa  tamwal….
Terjemahan oleh G. Coedes:
Keberhasilan! [disusul mantra kutukan yang tak dapat diartikan]. Wahai sekalian dewata yang berkuasa, yang sedang berkumpul dan yang melindungi Provinsi [kadatuan] Sriwijaya [ini]; juga kau tandrun luah [penguasa air] dan semua dewata yang mengawali permulaan setiap mantra kutukan! Bilamana di pedalaman semua daerah [bhumi] [yang berada di bawah provinsi [kadatuan] ini] akan ada orang yang memberontak […] yang bersekongkol dengan para pemberontak, yang berbicara dengan pemberontak, yang mendengarkan kata pemberontak, yang mengenal pemberontak, yang tidak berperilaku hormat, yang tidak takluk, yang tidak setia pada saya dan pada mereka yang oleh saya diangkat sebagai datu, biar orang-orang yang menjadi pelaku perbuatan-perbuatan tersebut mati kena kutuk; biar sebuah ekspedisi [untuk melawannya] seketika dikirim di bawah pimpinan datu [atau beberapa datu] Sriwijaya, dan biar mereka dihukum bersama marga dan keluarganya. Lagi pula biar semua perbuatannya yang jahat; [seperti] mengganggu :ketenteraman jiwa orang, membuat orang sakit, membuat orang gila, menggunakan mantra, racun, memakai racun upas dan tuba, ganja….
Tahun Saka 608, hari pertama paruh terang bulan Waisakha (28 Pebruari 686 Masehi), pada saat itulah kutukan ini diucapkan; kemudian dipahatkan oleh pemahatannya, berlangsung ketika bala tentara Sriwijaya baru berangkat untuk menyerang Jawa yang tidak takluk kepada Sriwijaya. Prasasti Kota Kapur isinya juga memuat kutukan-kutukan bagi mereka yang tidak taat kepada raja Sriwijaya.

Prasasti Palas Pasemah
Prasasti ini ditemukan di tepi Way Pisang, Kabupaten Lampung Selatan pada tahun 1957. Sampai sekarang, prasasti ini masih terletak di daerah ini (in situ). Prasasti berbentuk setengah bulat-lonjong ini berhuruf Pallawa dan berbahasa Jawa Kuno, tidak memuat angka tahun. Berdasarkan palaeografi (ilmu tentang tulisan  kuno), prasasti ini diduga berasal dari sekitar abad ke-7 Masehi. Prasasti Palas Pasemah terdiri dari 13 baris hampir sama dengan Prasasti Karang Brahi dan Kota Kapur, memuat kutukan bagi mereka yang tidak taat kepada raja Sriwijaya.
Teks Prasasti Palas Pasemah
(1) siddha kitaŋ hamwan wari awai. kandra kayet. ni pai hu [mpa an] (2) namuha ulu lawan tandrun luah maka matai tandrun luah wi [nunu paihumpa] (3) an haŋkairu muah. kayet nihumpa unai tunai. umenteŋ [bhakti ni ulun] (4) haraki unai tunai. kita sawanakta dewata maharddhika san nidhana maŋra [ksa yaŋ kadatuan] (5) di sriwijaya. kita tuwi tandrun luah wanakta dewata mula yaŋ parssumpaha [n parawis. kada] (6) ci uraŋ di dalaŋna bhumi ajnan kadatuanku ini parawis. drohaka wanu [n. samawuddhi la] (7) wan drohaka. manujari drohaka. niujari drohaka. tahu din drohaka [. tida ya marpadah] (8) tida ya bhakti tatwa arjjawa di yaku dnan  di yaŋ nigalar kku sanyasa datua niwunuh ya su [mpah ni]….
Terjemahan oleh Boechari:
(1-4). ….Wahai sekalian dewa, yang maha kuat, yang melindungi (kerajaan) (5)     Sriwijaya, wahai,  para  jin air dan semua dewa pemula rafal kutukan (jika) (6) Ada orang di seluruh kekuasan yang tunduk pada kerajaan yang memberontak, (berkomplot dengan) (7) Pemberontak, bicara dengan para pemberontak, tahu pemberontak (yang tidak menghormatiku) (8)    Tidak  tunduk takzim dan setia padaku dan bagi mereka yang  yang dinobatkan dengan tuntutan datu, (orang-orang tersebut) akan terbunuh oleh (kutukan)….

Prasasti Boom Baru
Prasasti ini ditemukan pada bulan April 1992 oleh penggali pasir yang bernama Rizal di pinggir sungai Musi, depan Pemakaman Kawah Tekurep (pemakaman Kesultanan Palembang), Jalan Blabak, 3 Ilir, kawasan Pelabuhan Boom Baru, Palembang. Rizal adalah teman Aminta, pegawai Museum Balaputra Dewa, yang melaporkan penemuan benda bersejarah itu kepada Kepala Museum Balaputra Dewa, Syamsir Alam, sehingga prasasti itu dapat diselamatkan. Diduga situs Kawah Tekurep sebelum dijadikan pemakaman keluarga Kesultanan Palembang, merupakan situs kerajaan Sriwijaya.
Prasasti itu, waktu ditemukan kondisinya dalam keadaan pecah dua, merupakan sebongkah batu kali yang berbentuk bulat-lonjong berwarna kemerah-merahan dengan tinggi 47 cm dan lebar 32,5 cm. Berdasarkan palaeografinya, prasasti ini diperkirakan berasal dari sekitar abad ke-7 Masehi, berhuruf Pallawa, dan berbahasa Melayu Kuno. Prasasti ini disimpan di Museum Negeri Balaputra Dewa, Provinsi Sumatra Selatan.

0 komentar:

- PAGAR ALAM MENGUKIR SEJARAH..!!!!




“Sebuah Catatan Dari Seminar Nasional Peradaban Besemah Sebagai Pendahulu Kerajaan Sriwijaya”Oleh : Budiarjo Sahar(Wakil Sekjen DPD KNPI Kota Pagar Alam, Ketua Pemuda Muhammadiyah Kota Pagar Alam, Tenaga Pengajar STKIP Muhammadiyah Pagar Alam) Spektakuler, itulah barangkali kata yang pas untuk disampaikan atas terselenggaranya Seminar Nasional “Peradaban Besemah Sebagai Pendahulu Kerajaan Sriwijaya” yang merupakan kerja bareng antara Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik (Dirjen Kesbangpol) dengan Pemerintah Kota Pagar Alam yang mengangkat tema : Dengan Seminar Nasional Peradaban Besemah Sebagai Pendahulu Kerajaan Sriwijaya Kita Wujudkan Persatuan dan Kesatuan Bangsa Serta Rasa Cinta Tanah Air. Seminar akbar yang dilaksanakan ini terbilang sukses karena cukup istimewa dan berbeda dengan seminar-seminar yang pada umumnya dilaksanakan, terutama pesertanya terdiri dari para raja-raja/sultan seantero nusantara, para budayawan, arkeolog dan pakar-pakar sejarah dari tingkat nasional dan lokal.

Walaupun terbilang sukses seminar ini masih menyisakan PR besar dan perlu ditindaklanjuti karena sampai seminar ini berakhir tidak ada satu pihakpun dalam seminar tersebut yang dapat menjelaskan secara pasti letak sesungguhnya Kerajaan Sriwijaya, namun bukan tidak beralasan kalau dikatakan bahwa peradaban Besemah sebagai pendahulu Kerajaan Sriwijaya. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya temuan peninggalan peradaban masa lalu, berupa batu-batu besar yang berasal dari aktivitas kebudayaan megalitik, antara lain dalam bentuk ruang batu (rumah batu), kubur batu, pahatan yang membentuk lukisan dipermukaan bukit batu dan arca-arca yang tersebar ditanah Pasemah.

Hal ini didukung oleh hasil penelitian beberapa pakar megalitik berkewarganegaraan Belanda, salah satunya A.N.J.Th.A Th. Vander Hoop, yang hasil penelitiannya dituangkan dalam sebuah buku yang berjudul : The Megalitic Remains In South Sumatera (1932). Mengenai temuan sejumlah besar megalitik di Dataran Tinggi Pasemah didalam bukunya dikatakan “merupakan bukti yang kaya diawal sejarah’. Bukti-bukti itu menurut para pakar dapat dijadikan titik awal peradaban megalitik yang selanjutnya berkembang di wilayah Sumatera dan Jawa. Hal ini didukung pula oleh pendapat budayawan terkemuka di Sumatera Selatan yaitu Djohan Hanafiah yang memprediksi bahwa Dinasti Syailendra tersebut berasal dari dataran tinggi Pasemah dan sekitar Gunung Dempo.
Yang tidak kalah menariknya lagi Raja Jogjakarta Sultan Hamengkubuwono X disaat bersilaturahmi dengan jajaran Pemerintah Kota Pagar Alam, sehari setelah Seminar Nasional yang diselenggarakan di Kota Pagar Alam tersebut. Seperti yang disampaikan kembali oleh Walikota Pagar Alam Drs. H. Djazuli Kuris, MM pada saat pembinaan kepada pegawai dilingkungan Pemerintah Kota Pagar Alam, menyampaikan bahwa Sri Sultan Hamengkubuwono X, secara tegas mengakui dan menyatakan bahwa Sri Sultan Hamengkubuwono X merupakan keturunan Kerajaan Syailendra, sedangkan Kerajaan Syailendra berasal dari Dataran Tinggi Pasemah.

Disisi lain Walikota Pagar Alam Drs. H. Djazuli Kuris, MM menegaskan bahwa seminar ini bukanlah akhir dari perjuangan, tetapi merupakan momentum awal upaya untuk mengenal sejarah Kerajaan Sriwijaya serta akan ada penelitian lebih lanjut “Besemah Sebagai Pendahulu Kerajaan Sriwijaya”. Kemudian harapan Walikota Pagar Alam selaku tuan rumah penyelenggara seminar ini disambut positif oleh Gubernur Bengkulu Agusrin Najamudin, yang juga merupakan salah satu tokoh muda di Sumatera Bagian Selatan ini, yang menghimbau agar para Gubernur di Sumatera Bagian Selatan ini agar duduk bersama, untuk menindaklanjuti seminar ini.

Apabila penelusuran sejarah ini dilanjutkan maka benang merah hubungan kekeluargaan akan semakin terlihat bahwa Kerajaan Sriwijaya ada keterkaitan erat dengan Kerajaan-kerajaan di Jawa. Hal ini dapat dijadikan satu dasar/pondasi dimana para keturunan Raja-raja tersebut dapat menyatukan kembali kebesaran dan kehebatannya tetapi dalam bentuk yang berbeda, bukan lagi dalam bentuk kekuasaan tetapi dalam bentuk budaya, dimana budaya merupakan benteng terakhir sebagai perekat bangsa.


http://jemekite.com/index.php?option=com_content&task=view&id=74&Itemid=29

0 komentar:

- Besemah, Tanah Para Leluhur...!!!!



By : Rici Pirnando

Yopi, petani kopi dari Desa Talang Pagar Agung, Kecamatan Pajar Bulan, Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan, tak pernah menyangka kalau di bawah kebun kopi yang setiap hari dilaluinya terdapat peninggalan megalitik berupa bilik batu. Dua bilik batu yang letaknya bersebelahan itu ditemukan pada Desember tahun 2009.
”Pemilik kebun ini Pak Lukman. Suatu hari dia bermimpi kalau di bawah batu besar di kebunnya ada sesuatu. Pak Lukman mengikuti perintah mimpinya dan menemukan dua bilik batu ini,” kata Yopi, pekan terakhir Februari lalu.
Menemukan peninggalan megalitik melalui mimpi adalah cerita yang umum di masyarakat. Apa pun cerita yang beredar dari mulut ke mulut, kenyataannya memang banyak penemuan peninggalan megalitik di Kabupaten Lahat dan Kota Pagaralam. Peninggalan megalitik Besemah berwujud bilik batu, batu berlubang (lumpang), arca, batu tegak, dan dolmen.
Wilayah Lahat dan Pagaralam adalah bagian dari Pegunungan Bukit Barisan di pantai barat Sumatera. Kedua kawasan itu sampai ke sebagian wilayah Bengkulu disebut sebagai kawasan Besemah (Pasemah). Besemah merupakan daerah pegunungan subur untuk pertanian sehingga tak heran bila kawasan itu menjadi pusat permukiman sejak ribuan tahun lalu.
Peninggalan megalitik Besemah mulai diteliti tahun 1930-1931 oleh Van der Hoop dari Belanda. Buku karya Van der Hoop berjudul Megalithic Remains in South Sumatera (1932) merupakan buku babon yang mengulas megalitik Besemah secara lengkap.



Tujuh bilik..!!!

Lebih dari 50 tahun setelah Van der Hoop menulis bukunya, pada tahun 1988 ditemukan lagi tujuh bilik batu di Desa Kotaraya Lembak, Kecamatan Pajar Bulan, Kabupaten Lahat. Tujuh bilik batu itu tersembunyi di bawah tanah di antara rimbunnya kebun kopi. Penemuan tujuh bilik batu merupakan penemuan peninggalan megalitik terbesar di kawasan Besemah dari segi jumlah.
Di dalam salah satu bilik batu, sampai saat ini masih bisa dilihat lukisan berbentuk kepala naga. Lukisan tersebut dibuat di atas batu dengan menggunakan warna merah dan putih.
Penemuan peninggalan megalitik terbaru adalah dua bilik batu di Desa Talang Pagar Agung pada Desember 2009. Ukuran ruangan di dalam kedua bilik batu sekitar 2 x 1,5 meter dengan ketinggian 1,8 meter. Penemuan itu istimewa karena di dalam bilik batu ditemukan arca kepala manusia setinggi 30 sentimeter.
Di Desa Pulaupanggung, Kabupaten Lahat, pada 2009 juga ditemukan sebuah lumpang batu yang terkubur di kedalaman satu meter di tengah kebun kopi. Lumpang tersebut diukir berbentuk ular yang sedang menelan anak kecil. Warga yang menemukan lumpang batu itu juga mengaku mendapat mimpi sebelum menggali tanah.
Lokasi penemuan lumpang batu tidak jauh dari lokasi tiga arca megalitik berbentuk manusia yang sudah diteliti oleh Van der Hoop. Untuk mencegah kerusakan, warga memasang pagar bambu di sekeliling situs.
Di dinding bilik batu Talang Pagar Agung, terdapat lukisan berbentuk lingkaran, lukisan tangan manusia, dan lukisan seekor binatang mirip kadal. Di bagian atapnya ada lukisan berbentuk pola anyaman.
Ayu Kusumawati dan Haris Sukendar dalam buku Megalitik Bumi Pasemah Peranan Serta Fungsinya menyebut, di kawasan Besemah terdapat sedikitnya 20 lokasi peninggalan megalitik. Tersebar di areal seluas 80 kilometer persegi. Nama-nama daerah tempat peninggalan megalitik adalah Tinggihari, Tanjungsirih, Pulaupinang, Lubukbuntak, Pulaupanggung, Air Puar, Tebing tinggi, Geramat, Mingkil, Nanding, Tebatsibentur, Tanjung Arau, Tegur Wangi, Belumai, Kotaraya Lembak, Muaradua, Bandaraji, Gunungkaya, Muara Tebu, dan Pagaralam.
Banyaknya peninggalan megalitik di Besemah adalah suatu petunjuk bahwa kawasan itu telah dihuni manusia setidaknya sejak 2.500 tahun sebelum Masehi. Pahatan detail dan halus berarti masyarakat Besemah saat itu sudah mengenal logam.
Peneliti Balai Arkeologi Palembang, Kristantina Indriastuti, berpendapat, bilik batu ataupun arca di Besemah dibangun untuk tujuan religius. Di dalam tanah itulah mereka melakukan ritual. Bentuk arca manusia, seperti di situs Tegurwangi dan situs Pulaupanggung, menurut Kristantina, adalah khas Besemah. Cirinya, bentuk manusia yang digambarkan dalam arca bertubuh tambun, bibir tebal, dan hidung pesek.
Arca-arca megalitik Besemah dibuat dengan alat semacam pahat dari logam. Jelaslah bahwa peninggalan megalitik Besemah eksis pada masa perundagian atau lebih kurang 2.500 tahun sebelum Masehi. ”Bentuk manusia dalam arca Besemah adalah figur manusia yang hidup di Besemah pada masa itu. Figur arca itu bukan menggambarkan wujud para dewa atau nenek moyang,” kata Kristantina.
Ia berpendapat, masyarakat Besemah yang menciptakan arca dan bilik batu adalah penduduk asli, bukan pendatang dari luar Sumatera. Cikal bakal manusia yang hidup di Besemah kemungkinan berasal dari manusia goa yang hidup 5.000-9.000 tahun sebelum Masehi. Bekas-bekas kehidupan manusia goa ditemukan di Kabupaten Ogan Komering Ulu, Sumsel. Jadi, kebudayaan manusia goa jauh lebih tua dari kebudayaan manusia Besemah.
Kuat dugaan bahwa masyarakat Besemah yang menciptakan bilik batu dan arca batu itu tidak pernah berpindah tempat. Dataran rendah Sumsel baru berkembang setelah masuknya pengaruh Kerajaan Sriwijaya pada abad VII Masehi dan masuknya pengaruh Islam.

0 komentar:

- Sejarah Pasmah...!!!!

Sejarah Pasmah

KHTISAR MASYARAKAT BESEMAH

“Lampik Empat Sindang Merdike”MASYARAKAT Pasemah? Barangkali tidak semua orang mengenalnya. Secara historis, suku Pasemah dulunya hanya merupakan suatu kelompok masyarakat yang bermukim di wilayah pedalaman di Sumatera Selatan (Sumsel). Suku Pasemah ini diidentikkan dengan masyarakat yang bermukim di daerah perbatasan Provinsi Sumsel saat ini dengan Provinsi Bengkulu.Secara administratif pemerintahan saat ini, wilayah Pasemah diakui meliputi daerah sekitar Kota Pagar Alam, wilayah Kecamatan Jarai, Kecamatan Tanjung Sakti, yang berbatasan dengan wilayah Bengkulu, dan daerah sekitar Kota Agung, Kabupaten Lahat (Sumsel). Menurut berbagai literatur, semua wilayah itu pada masa kolonial Belanda memang termasuk bagian dari Kewedanaan Pasemah. Sedangkan secara geografis, bisa disebut adalah mereka yang bermukim di sekitar kaki dan lembah Gunung Dempo sekarang.
Penyebutan Pasemah itu sendiri, seperti diakui Mohammad Saman (70), budayawan dan salah seorang sesepuh di sana, berawal dari kesalahan pengucapan (lidah) orang Belanda. Padahal, pengucapan yang tepat untuk menyebut kelompok masyarakat ini sebetulnya adalah Besemah. Hanya saja, karena lidah Belanda tidak bisa mengucap awalan "Be" dari Besemah dan yang terucap hanya "Pa", maka mereka akhirnya menyebut dengan Pasemah.
Belakangan bahkan hingga 57 tahun Indonesia merdeka, yang paling populer di tengah masyarakat justru sebutan: Pasemah. "Keseleo lidah (pengucapan) orang Belanda yang menyebut Pasemah itu, ternyata yang paling populer di luar. Padahal, bagi kami orang-orang yang masih bertahan di sini, dari dulu tetap menyebut Besemah," ungkap Saman, yang mengaku secara otodidak menguasai dan mengikuti perjalanan panjang sejarah Pasemah.
Kata Besemah itu sendiri, konon berawal dari "kekagetan" Atong Bungsu, puyang (nenek moyang) mereka ketika melihat banyaknya ikan "Semah" di sebuah sungai yang mengalir di lembah Dempo. Menyaksikan ikan itu, tiba-tiba terucap dari mulut Atong Bungsu kalimat; Besemah..., Besemah...! yang artinya di sungai itu ada (banyak) ikan semahnya.
***
PASEMAH adalah salah satu kelompok masyarakat tradisional yang kaya dengan nilai-nilai adat, tradisi, dan budaya yang sangat khas. Seperti yang dijelaskan Mohammad Saman, masyarakat di tanah Pasemah sedari dulu sudah mempunyai tatanan dan aturan-aturan masyarakat yang bernama "Lampik Empat, Merdike Due" yakni, perwujudan demokrasi murni yang muncul, berkembang, dan diterapkan sepenuhnya, oleh semua komponen masyarakat setempat.
Menurut Kamil Mahruf, Nanang Soetadji, dan Djohan Hanafiah dalam bukunya Pasemah Sindang Merdika, asal usul orang Pasemah dimulai dengan kedatangan Atong Bungsu, yaitu nenek moyang orang Pasemah Lampik Empat dari Hindia Muka untuk menetap di daerah ini. Saat kedatangan Atong Bungsu tersebut, ternyata sudah ada berdiam dua suku yang menempati daerah itu. Yakni, suku Penjalang dan suku Semidang. Untuk menjaga ketenteraman dan melindungi kepentingan mereka, pendatang dan kedua suku itu menyepakati perjanjian bersama. Intinya, di antara mereka sampai anak keturunannya, tidak akan mengganggu dalam segala hal.
Sejauh ini memang tidak diketahui sejak kapan keberadaan suku-suku Lampik Empat di tanah Pasemah. Namun, seperti dijelaskan Kamil Mahruf, jika perkataan Pasemah yang terdapat dalam prasasti yang dibuat oleh balatentara raja Yayanasa dari Kedatuan Sriwijaya setelah penaklukan Lampung tahun 680 Masehi yaitu "Prasasti Palas Pasemah" ada hubungannya dengan tanah Pasemah, maka berarti suku-suku ini telah ada pada awal abad ke-7 M.
Keberadaan suku Pasemah itu sendiri tampaknya memang tidak bisa lepas dari perjalanan panjang sejarah Kesultanan Palembang. Dari berbagai referensi yang dimiliki, menurut Kamil Mahruf, keterkaitan antara tanah Pasemah dan Sultan Palembang dilatarbelakangi oleh hubungan historis dan moral menyangkut ketidakmampuan untuk mengatur diri sendiri.
Disebutkan, setelah puyang Pasemah yakni Atong Bungsu berkembang biak, keturunannya menyebar dan terbagi ke dalam empat suku. Yaitu, Sumbai Besar, Sumbai Pangkal Lurah, Sumbai Ulu Lurah, dan Sumbai Mangku Anom. Karena keempat suku itu tidak mampu mengatur kerukunan di antara mereka, maka dikirimlah utusan masing-masing suku menemui Raja Palembang untuk meminta petunjuk. Khusus dua suku sebelumnya, suku Penjalang dan Semidang tidak turut serta sesuai perjanjian terdahulu.
Lantas, Raja Palembang memberi hadiah kepada keempat ketua suku, berupa satu lampik atau tikar untuk tempat duduk bersama. Arti pemberian itu sangat dalam, yaitu arahan agar keempat suku tersebut harus duduk bersama dalam mengatasi berbagai masalah di lingkungan mereka. Segala sesuatu yang timbul di antara kelompok itu, harus diselesaikan secara musyawarah.
Menurut Saman, Lampik Empat (empat suku turunan Atong Bungsu) dan Merdike Due (dua suku yang sudah lebih dulu ada), merupakan potensi besar masyarakat yang ada di tanah Pasemah. Mereka menyatu, membentuk suatu kelompok masyarakat yang memang sudah sejak lama memiliki tatanan demokrasi modern.
"Jauh sebelum Indonesia merdeka, Pasemah sudah punya sebuah tata pemerintahan yang amat demokratis. Pada saat itu yang dikedepankan adalah, kekuatan rakyat dengan dasar-dasar musyawarah dan mufakat. Lampik Empat, Merdike Due adalah, suatu tatanan demokrasi murni yang betul-betul sangat menjunjung tinggi pendapat dan aspirasi orang banyak. Itu artinya, jauh sebelum kalangan anggota parlemen dan para pemikir di Indonesia sekarang berbicara soal demokrasi, ternyata di tanah Pasemah sudah diterapkan hal itu lengkap dengan etika-etika berdemokrasi layaknya pemerintahan modern sekarang," tegas Saman penuh bangga.
Hanya saja, pengingkaran terhadap tatanan demokrasi ternyata dari dulu sudah terbukti akan berdampak buruk. Tidak saja sekarang, sejak dari dulu pun pengingkaran demokrasi ini membawa implikasi yang tidak sehat di tengah
masyarakat. Bahkan, bisa menjurus perpecahan dengan beragam persoalan serius. Buktinya, bisa dilihat dalam perjalanan panjang sejarah Pasemah menghadapi Belanda antara tahun 1821 sampai 1866.
Dalam bukunya Pasemah Sindang Merdika, Kamil Mahruf dan kawan-kawan secara gamblang menggambarkan betapa kejayaan Pasemah bertahun-tahun, bisa hancur hanya gara-gara pengingkaran terhadap nilai-nilai yang ada pada Lampik Empat, Merdike Due tadi. Bahkan, sekitar tahun 1866 ketika Pasemah Sindang Merdike (julukan membanggakan bagi orang-orang Pasemah sebagai penjaga perbatasan) berakhir, disebut-sebut dipicu oleh ketidaksenangan sebagian kepala dan orang-orang berpengaruh di wilayah Lampik Empat bersama-sama orang Semidang untuk membatalkan perjanjian "Sindang Merdike" dengan Belanda.
Berbagai ambisi dan kedengkian itu pula akhirnya yang menyebabkan runtuhnya kejayaan Lampik Empat, terhitung sejak 22 Juli 1867. Sudah bisa ditebak, begitu Lampik Empat "terkubur", lenyap sudah sebuah hakikat demokrasi dalam sekejap. Artinya, kebijakan tanpa didasarkan pada musyawarah dan mufakat ternyata telah meruntuhkan sebuah pilar demokratis yang dibangun di tanah Pasemah.
***
MAKIN tenggelamkah "Sindang Merdike" saat ini? Menurut budayawan Pasemah, Mohammad Saman, begitu kekuatan Belanda merambah ke sini, mulailah terjadi pergeseran nilai-nilai adat, budaya, dan sistem pemerintahan di tanah Pasemah. Dampak berikut juga menyentuh berbagai peran dan fungsi lembaga-lembaga lama yang ada di masyarakat ke lembaga baru yang sesuai dengan keinginan penguasa.
Lembaga-lembaga lama misalnya hukum adat dan tradisi lain, semakin tidak berfungsi. Bahkan, puncaknya memasuki abad XIX, berbagai lembaga tradisional di tanah Pasemah terasa mulai keropos dan pada akhirnya hilang digerogoti kolonial. Barangkali ini terkait pula dengan strategi perang yang tujuan akhirnya adalah agar kekuasaan mereka bisa langgeng.
Era sekitar tahun 1940-an, bisa disebut sebagai titik awal pudarnya kejayaan Pasemah. Sebab, pada saat itu sistem pemerintahan marga sebagai sebuah sistem pemerintahan tradisional yang mapan di tanah Pasemah, ternyata dihapus oleh kolonial. Jabatan strategis seperti, Kepala Sumbai, Pesirah, dan lain-lain lantas dilikuidasi.
Dilukiskan, cobaan bagi tanah Pasemah tidak semata lahir pada zaman kolonial. Setelah merdeka, bahkan di era orde baru pun tanah Pasemah juga menjadi korban. Sistem pemerintahan marga, misalnya lembaga Sumbai yang mulai bertunas kembali saat itu, sengaja dienyahkan.
"Dengan diterapkannya Undang-Undang Pemerintahan Desa yang seragam dari Aceh sampai Irian sekitar tahun 1979, membuat pemerintahan marga di tanah Pasemah kembali terkubur. Padahal, saat itu reinkarnasi sistem pemerintahan marga sudah mulai muncul kembali. Ini jelas petaka kedua yang melanda Pasemah," tutur Saman.
Imbalan dari pemerintah Orde Baru, untuk menghargai rasa keterpaksaan masyarakat Pasemah dalam menghapus marga dan diganti desa kala itu, hanya berupa sebuah stasiun relay televisi, satu masjid, dan memberi status kota administratif bagi Pagar Alam. Imbal beli yang teramat murah ini memang ironis. Akan tetapi, para tetua Pasemah tidak berdaya karena jika mereka menentang, jargon yang paling pas adalah akan dicap sebagai antipembangunan.
"Ketika itu pilihan kami memang serba sulit. Daripada timbul konflik dan dianggap macam-macam, dengan rasa berat hati kami akhirnya menerima tawaran itu. Kita betul-betul sedih, karena sudah diramalkan bahwa Pasemah akan dikubur tanpa bisa bangkit kembali," ia menambahkan.
Tentang keinginan menghidupkan kembali pemerintahan marga, diakui Saman, bukan dimaksudkan untuk sekadar menghibur diri. Karena dengan sistem pemerintahan marga, diyakini semua institusi akan memiliki basis sampai ke tingkat yang paling dasar. Ini memberi banyak keuntungan, salah satunya adalah gampang menarik masyarakat untuk berpartisipasi dalam menggerakkan roda pembangunan. Sudah dari dulu diketahui bahwa Kepala Sumbai atau Pesirah memiliki ikatan moral dan berpengaruh luas ke bawah.
"Terus terang, kami iri dengan Sumatera Barat (Sumbar) yang saat ini sudah kembali ke pemerintahan Nagari. Jika di Sumbar sistem pemerintahan tradisional bisa dihidupkan kembali, kenapa di tanah Pasemah ini tidak dilakukan. Jadi, inilah yang perlu digugah untuk membangkitkan kembali kejayaan Pasemah dalam konteks pemerintahan modern di era otonomi daerah," ujarnya.
Akankah "Sindang Merdike" itu akan terkubur sepanjang masa ? Jawabannya, tentu tergantung dari keinginan bersama masyarakat di tanah Pasemah itu sendiri.
Sebab, sebagai kelompok masyarakat yang mendapat gelar kehormatan "Penjaga Perbatasan", idealnya memang harus mampu bangkit karena mereka memiliki rasa patriotisme tinggi. Sikap mental seperti itu memang sudah terbukti dan teruji dari dulu. Hanya saja, tenggelam dengan nostalgia masa lalu, jelas bukan sebuah jawaban yang tepat....

0 komentar:

- BESEMAH....!!!!!

APAKAH BANGSA PEDULI PADA SITUS PASMAH

( Huma / Rumah )
By : Rici Pirnando


Angin kencang yang menerbangkan dedaunan kering setinggi hampir 2 meter bertiup di area situs megalitik Tinggihari I di Desa Pulau Pinang, Kecamatan Pulau Pinang, Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan. Situs ini merupakan bagian dari situs 19 megalit Pasemah yang tersebar di dataran tinggi Pasemah dengan luas sekitar 80 km persegi. Meskipun berada di pegunungan, situs-situ itu dibangun di atas permukaan tanah yang datar.
Situs Tinggihari I berada di dalam areal perkebunan kopi, pohon pinus, dan kayu manis. Pada umumnya situs-situs megalitik berada di ketinggian 400 meter di atas permukaan laut. Karena terletak di dataran tinggi, daerah ini mempunyai curah hujan yang tinggi sepanjang tahun. Daerah Pasemah sendiri wilayahnya meliputi Bukit Barisan dan di kaki Gunung Dempo.
Wajah patung batu besar di situs Tinggihari I yang menghadap barat laut, keberadaannya seakan untuk menghalangi terpaan angin yang berembus keras dari arah belakang patung.
Patung batu itu membelakangi paparan jurang dalam dan barisan pegunungan. Di dasar paparan dasar jurang, tampak mengalir Sungai Lematang, yang di sejumlah tempat diapit petakan sawah dengan padi yang sudah menguning.
Para arkeolog menilai, tinggalan megalitik Pasemah ini sangat unik dengan patung yang dipahat dengan dinamis, megah, dan menimbulkan kesan monumental.
Kondisi ini mencirikan adanya kebebasan sang seniman ketika membuat tinggalan-tinggalan tersebut. Simbol-simbol yang ingin disampaikan oleh pemahat erat kaitannya dengan pesan-pesan religius.
Peneliti LIPI, Kristantina Indriastuti, dalam salah satu tulisannya menyebutkan, secara umum kebudayaan megalitik mengacu dan berorientasi pada kekuatan-kekuatan supranatural yang mengaitkan pada kepercayaan akan adanya kekuatan gaib pada benda ataupun makhluk hidup dan kepercayaan adanya kekuatan roh dan kekuatan pada arwah nenek moyang.
Keberadaan situs ini juga menjadi penanda bahwa masyarakat sekitarnya pada masa lalu sudah menetap dan kehidupannya sudah terjamin.
Tidak heran kalau masyarakat yang menjadi pendukung situs tersebut mampu menampilkan tinggalan budaya megalitik Pasemah yang sangat luar biasa, dengan pahatan yang begitu maju.
Penggambaran alat-alat yang dibuat dari perunggu memberikan tanda bahwa megalitik Pasemah telah berkembang dalam arus globalisasi atau pertukaran budaya yang pesat. Alat-alat logam perunggu yang dipahat adalah nekara yang merupakan kebudayaan Dongson, Vietnam.
Banyak variasi
Temuan peninggalan megalitik Pasemah begitu banyak variasinya, berdasarkan survei yang dilakukan peneliti Balai Arkeologi Palembang, Budi Wiyana (1996), telah ditemukan 19 situs megalitik, baik yang tersebar secara mengelompok maupun sendiri.
Balai Arkeologi Palembang juga menyebutkan, penelitian awal terkait situs megalit Pasemah ini ditulis L Ullmann dalam artikelnya, ”Hindoe-belden in binnenlanden van Palembang”, yang dimuat oleh Indich Archief (1850).
Tulisan Ullmann menyebutkan, H Loffs, sang peneliti, menyimpulkan bahwa arca-arca tersebut merupakan tinggalan dari masa Hindu. Namun, pendapat ini ditentang Van der Hoop tahun 1932, yang menyatakan bahwa tinggalan tersebut dari masa yang lebih tua.
Setelah penelitian Van der Hoop, penelitian tentang megalitik Pasemah dilanjutkan oleh arkeolog RP Soejono, Teguh Asmar, Haris Sukendar, Bagyo Prasetyo, dan peneliti dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dan peneliti dari Balai Arkeologi Palembang, tetapi hingga kini masih belum tuntas.
Kondisi situs memang sudah diberikan naungan dan areal sekitar situs sudah dipagar kawat berduri. Namun, kesan ketidakpedulian pada situs ini sulit dihapuskan.
Tidak terurus
Terlepas dari perdebatan akademis soal Situs Megalit Pasemah, situs ini tidak hanya memperlihatkan tingginya sejarah peradaban bangsa ini, tetapi juga keindahan alam yang belum banyak terjamah manusia.
Udara sejuk pegunungan, lanskap perbukitan, jurang-jurang, dan sungai yang airnya mengalir deras di dasar jurang dapat menampilkan simfoni alam yang menenteramkan perasaan.
Tidak terurusnya situs prasejarah warisan nenek moyang ini tampaknya menjadi penanda bahwa bangsa ini enggan belajar dari sejarah bangsanya sendiri.
Padahal, bangsa yang besar harusnya bisa melihat ke depan dengan bekal pelajaran jatuh bangun perjalanannya pada masa lalu untuk membangun bangsa.
Kebesaran masa lalu bangsa ini yang jejaknya tersebar di banyak tempat sejak zaman batu seharusnya mampu menyadarkan anak bangsa ini bahwa Indonesia merupakan bangsa besar yang tidak pantas terpuruk.
Kekayaan alam, seni budaya, dan peninggalan sejarah yang ada hampir tidak pernah dipromosikan, baik di dalam negeri, apalagi hingga keluar negeri. Tidak heran kalau sebagian besar anak bangsa ini belum mengenal keindahan negerinya sendiri.
Di tengah gencarnya promosi pariwisata negara tetangga, bahkan berani mengklaim kekayaan seni budaya bangsa ini, seharusnya mampu menyadarkan bahwa bangsa ini bisa bangkit melalui pengelolaan negara yang lebih baik.
Salah satunya adalah pengelolaan kekayaan potensi wisata yang dimiliki setiap provinsi yang ada di Indonesia.
Seharusnya cerita ketidakpedulian pemerintah ataupun pemerintah daerah dalam mengurus situs sejarah, apalagi rakyat negeri ini, sudah bisa menjadi sejarah atau cerita usang pada masa lalu.
Namun, kenyataannya, pemerintah masih harus menuliskan sejarahnya sendiri. Semuanya tergantung dari kerja yang akan dilakukan semua pemangku kepentingan negara ini.
Apakah kehadiran pemerintah mampu mencatatkan peninggalan sejarah yang baik bagi anak cucu ataukah menjadi sejarah buruk yang patut disesali sepanjang akhir zaman, anak bangsa negeri inilah yang akan menjadi saksinya.
Prasasti Batu Bertulis Di Palas
Batu Bertulis (prasasti) Palas,terletak di desa palas pasemah ,kalianda lampung selatan.
Batu bertulis palas ini merupakan peninggalan kerajaan sriwijaya,yang ditemukan pada 1957 di palas pasemah.prasasti batu bertulis palas pasemah ini merupakan salah satu


prasasti persumpahan sriwijaya.


Prasasti persumpahan yaitu prasasti prasasti yang berisikan kutukan dan ancaman bagi mereka yang menentang atau tidak mau berbakti kepada raja sriwijaya.istilah “persumpahan” memang berasal dari raja sriwijaya sendiri.sebagaimana tercantum dalam prasasti prasasti semacam itu.prasasti sriwijaya yang tergolong parasasti persumpahan adalah prasati prasasti Telaga batu,kota kapur,karang berahi dan palas pasemah.mungkin di waktu akan datang akan ditemukan lagi prasasti persumpahan yang lain.
Prasasti palas pasemah itu sendiri terdiri dari 13 baris,namun baris ke -1 sampai ke -3 hilang.

0 komentar:


Daftar isi