Sumatra Selatan Menjelang Masa Sejarah
Letak
kawasan pesisir timur Sumatra Selatan dari pendekatan geohistoris punya
posisi yang strategis dalam konfigurasi persebaran situs-situs arkeologi
di pulau Sumatra. Kedudukan yang terletak antara negeri Cina dan India
telah memungkinkan daerah-daerah pesisir di wilayah ini menjadi tempat
persinggahan para pedagang dari jalur barat dan timur, pun sebaliknya.
Ahli
epigrafi Louis Charles Damais mengatakan, sumber-sumber kesusasteraan
asing (luar Indonesia), khususnya dari India, menyebut nama Sumatra,
antara lain dari Kitab Milindapanca yang ditulis sekitar abad ke-1 SM,
sedangkan Kitab Mahanidesa yang ditulis sekitar abad ke-3 Masehi
menyebut nama beberapa pulau, seperti Swarnabhumi (Sumatra), Jawadwipa
(Jawa), dan Wangka (Bangka). Demikian pula sumber Cina, antara tahun 245
M sampai 473 M, juga mencatat beberapa nama tempat seperti Tu-po
(Cho-ye), Ho-lo-tan, Po-huang, Kan-to-li, dan Ko-ying, yang semuanya
terletak di daerah “Laut Selatan” .
Jarak antara “Laut Selatan”
dengan negeri Cina sekitar 5000 li. Mengingat catatan tersebut
kebanyakan dibuat oleh para pedagang atau musafir dalam pelayarannya
dari Cina ke India atau sebaliknya, maka diduga bahwa daerah yang
dimaksud dengan “Laut Selatan” dalam catatan Cina tersebut adalah
wilayah Indonesia bagian barat, atau terletak di sekitar antara Selat
Malaka dan Laut Jawa sekarang. Dalam catatan I-tsing, yang ditulis
sekitar abad ke-7 Masehi, terdapat nama-nama daerah yang langsung
berhadapan dengan laut atau disebut chou yang terletak di pantai timur
Sumatra. Menurut I-tsing, nama-nama tersebut dari arah barat adalah
Po-lu-shi, Mo-le-you, Mo-ho-sin, dan Ho-ling. Menurut peneliti Wolters,
Po-lu-shi itu identik dengan nama Barus, suatu tempat yang terletak di
bagian utara pulau Sumatra. Sementara, peneliti Takakusu
menginterpretasikan Mo-ho-sin sebagai nama Mukha Asin yang identik
dengan Banyu Asin (Banyuasin).
Walaupun saat itu masyarakat
Nusantara belum mengenal tulisan, namun dari catatan di atas diuraikan
bahwa pulau-pulau tertentu di Nusantara kala itu sangat subur dan
menghasilkan beras, emas, cula badak, kayu cendana, dan komoditas lain.
Menurut hasil penelitian, J.L. Brandes, ahli tentang kebudayaan
Nusantara, menjelang masuk ke periode sejarah (mulai mengenal tulisan),
penduduk Nusantara telah mengenal beberapa kepandaian, yakni dapat
membuat figur
manusia
atau hewan (patung atau arca), mengenal pola-pola hias, mengenal
instrumen musik, mengetahui cara mengecor logam, mengembangkan tradisi
lisan, mengenal alat tukar, mengenal teknik navigasi, mengetahui ilmu
astronomi, melaksanakan irigasi pertanian, dan mengenal tatanan
masyarakat yang sudah teratur dan tertata baik.
Munculnya kerajaan
Sriwijaya
di bumi Nusantara menimbulkan sejumlah pertanyaan, terutama berkaitan
dengan masa-masa pra-Sriwijaya. Realitas sejarah menunjukkan pada abad
ke-7 muncul sebuah kerajaan (Sriwijaya) yang dalam waktu relatif singkat
dapat berkembang menjadi besar dan kuat sehingga memegang peranan dan
berpengaruh di kawasan Asia.
Sekitar satu abad menjelang munculnya
Sriwijaya, di pesisir timur Sumatra mulai memperlihatkan kemajuan yang
berarti. Di Kota Kapur, pulau Bangka (tempat ditemukannya Prasasti Kota
Kapur dari masa Sriwijaya), telah ditemukannya dua buah candi (Candi I
dan II) yang terbuat dari material batu putih. Hasil penelitian karbon
(C14) yang diperoleh dari tempat di bawah reruntuhan candi,
memperlihatkan suatu usia (awal abad ke-6 Masehi) yang berarti lebih tua
dari umur kemunculan Sriwijaya.
Pada bangunan Candi II, yang
tersisa hanya bagian kaki candinya itu, di bagian tengahnya terdapat
sebuah batu bulat yang menancap menyerupai menhir. Pada salah satu
sisinya, terdapat tanda-tanda adanya saluran kecil semacam somasutra
yang menghubungkan antara menhir itu dengan bagian sisi luar bangunan.
Pada sisa bangunan Candi I, para peneliti juga menemukan dua arca serta
sejumlah pecahan (fragmen) tangan arca. Kedua arca tersebut
menggambarkan arca Wisnu yang secara ikonografis (ilmu tentang arca
kuno) dapat dikelompokkan sebagai arca-arca produk abad ke-6 Masehi
pula.
Selain penemuan yang bersifat artefak aktivitas religius
itu, pada tahun 2000-an, di pemukiman transmigrasi Karangagung Tengah,
desa Karangmukti dan Mulyo-agung, Kecamatan Bayunglincir, Kabupaten Musi
Banyuasin, Provinsi Sumatra Selatan ditemukan situs pemukiman
masyarakat kuno yang diduga hidup pada menjelang masa sejarah (abad ke-4
Masehi). Hal ini membuktikan, bahwa sebelum kemunculan Sriwijaya
sebagai kekuatan besar di kawasan Asia pada sekitar abad ke-7 Masehi,
telah ada masyarakat yang memiliki pemukiman padat di wilayah Sumatra
Selatan.
Kerajaan-kerajaan Awal di Nusantara.
Setelah
tulisan atau aksara mulai digunakan di Nusantara, maka perjalanan
sejarah di bumi Nusantara memasuki lembar baru, yaitu babak sejarah.
Sumber sejarah Indonesia di masa-masa awal (purba) sangatlah terbatas
jumlahnya. Sumber sejarah dalam negeri yang ada hanya berupa benda-benda
temuan bersifat artefaktual, khususnya batu bertulis atau prasasti,
namun yang cukup membantu adalah adanya sumber-sumber asing berupa
berita atau catatan-catatan (kronik) terutama dari Cina, India, dan juga
Arab.
Diberitakan, setelah hubungan pelayaran dan perdagangan
dunia ketika itu khususnya di wilayah Asia semakin ramai, dengan
ditemukannya jalur laut antara Romawi dan Cina. Rute baru jalur laut
hubungan dagang antara Cina dengan Romawi itu, nampaknya telah mendorong
pula hubungan dagang pada daerah-daerah yang dilalui, termasuk wilayah
Nusantara. Karena posisi Nusantara yang strategis di tengah-tengah jalur
hubungan dagang Cina dengan Romawi, maka terjadilah hubungan dan
transaksi dagang antara Nusantara dengan Cina dan juga India.
Melalui
hubungan dagang antara Nusantara dengan India, maka secara lambat laun
budaya dan agama Budha-Hindu masuk, dianut oleh para raja-raja dan
bangsawan, kemudian tersebar di Nusantara. Berawal dari keluarga raja
dan para bangsawan itulah agama Budha-Hindu tersebar luas sampai ke
lingkungan rakyat biasa.
Dalam sejarahnya, penyiaran budaya dan
agama Budha lebih dahulu masuk ke Nusantara dibandingkan dengan budaya
dan agama Hindu. Tersiarnya ajaran Budha di Nusantara itu, diperkirakan
sejak abad ke-2 Masehi, dibuktikan dengan penemuan beberapa patung batu,
beberapa diantaranya ditemukan di Palembang. Sejak masuknya pengaruh
budaya dan agama Budha-Hindu di Nusantara, maka semula masyarakatnya
hanya mengenal sistem suku atau kepala suku (interpares), lambat laun
berganti dengan sistem raja atau kerajaan.
Kerajaan Kutai
Diawali
ketika Prasasti Kutai yang berangka tahun 400 M ditemukan di pulau
Kalimantan, maka dapat diketahui bahwa pada saat itulah masa sejarah
Indonesia dimulai. Nama prasasti ini disesuaikan dengan nama daerah
tempat penemuannya, yakni di daerah Kutai, di hulu sungai Mahakam,
Kalimantan Timur. Dari prasasti lain yang berhasil ditemukan di daerah
ini, tidak satupun yang menyebutkan nama kerajaan tersebut, sehingga
oleh para ahli, kerajaan ini diberi nama kerajaan Kutai dan disepakati
merupakan kerajaan tertua di Indonesia.
Kerajaan Kutai mendapat
pengaruh budaya dan agama Hindu. Raja-raja Kutai yang dapat diketahui
adalah Kudungga (kepala suku yang menjadi raja), Aswawarman, dan
Mulawarman. Di masa pemerintahan Mulawarman inilah kerajaan Kutai
mengalami masa keemasan, rakyatnya dapat hidup sejahtera dan aman.
Kerajaan Tarumanegara
Setelah
ditemukannya Prasasti Kutai, di wilayah Ciaruteun (Bogor), Jawa Barat,
juga ditemukan prasasti batu bertulis, dikenal sebagai Prasasti
“Batutulis” Bogor, yang tidak terdapat angka tahunnya. Namun dengan
perbandingan huruf Pallawa dan bahasa Sanskerta yang digunakan, prasasti
ini diperkirakan berasal dari masa ± abad ke-5 Masehi. Pada prasasti
itu disebutkan bahwa di daerah ini ada kerajaan yang bernama kerajaan
Tarumanegara dengan rajanya yang bernama Purnawarman.
Dalam berita
Cina pada masa Dinasti Tang, seorang pendeta Cina yang bernama Fa-Hien
pernah terdampar di pantai pulau Jawa (414 M). Selanjutnya dia
menuliskan bahwa masyarakat yang dijumpainya itu, telah mendapat
pengaruh Hindu dan merupakan masyarakat kerajaan Tarumanegara. Pada
Prasasti Ciaruteun, dipahatkan dua buah tapak kaki seperti tapak kaki
Dewa Wisnu yang merupakan simbol tapak kaki Purnawarman sebagai raja
yang gagah berani.
Menurut Nia Kurnia Sholihat Irfan yang mengutip
pendapat Louis Charles Damais, pada awal atau sebelum kerajaan
Tarumanegara mendapat pengaruh Hindu, nama kerajaan ini adalah kerajaan
Aruteun, mengingat berita-berita Cina yang menyebutkan adanya kerajaan
yang bernama Ho-lo-tan (Aruteun).
Kerajaan Holing
Dalam
berita Cina lain, masih dalam masa Dinasti Tang, seorang pendeta yang
bernama I-tsing menyebutkan sahabatnya pergi ke suatu tempat yang
bernama Holing pada tahun 664 M untuk mempelajari agama Budha. Selain
itu, juga diberitakan bahwa kerajaan Holing telah beberapakali mengirim
utusan ke Cina. Kerajaan Holing tersebut diperintah oleh seorang raja
putri yang bernama Ratu Sima. Diberitakan juga dalam menjalankan
pemerintahannya, kebijakan Ratu Sima sangat keras, namun adil dan
bijaksana.
Lokasi atau letak kerajaan Holing sampai sekarang masih
menjadi bahan perdebatan para ahli sejarah. Berdasarkan berita-berita
asing, diperkirakan kerajaan Holing terletak di pulau Jawa, yaitu
Kalingga di Jawa Tengah atau Keling di lembah sungai Brantas. Namun
menurut J.L. Moens, kerajaan Holing itu terletak di Semenanjung Malaka
(Malaysia), karena di daerah Malaka ini juga ditemukan sebuah daerah
yang bernama Keling.
Terlepas dari keragaman pendapat para ahli
sejarah tersebut, yang jelas kerajaan Holing ini diduga kuat terletak di
pulau Jawa. Hal tadi didasarkan pada kata She-po yang juga dipakai
sebagai nama lain dari Holing, dan kata She-po ini merupakan penyebutan
orang Cina untuk nama Jawa.
Kerajaan Bangka
Ketika
pendeta I-tsing, berdasarkan catatan perjalanannya tahun 685 M,
urut-urutan negeri dari barat ke timur, dituliskan nama Mo-ho-hsin
sesudah Shih-li-fo-shih (Sriwijaya) dan sebelum Ho-ling. Artinya,
Mo-ho-hsin terletak di antara Sriwijaya dan Holing. Menurut Nia Kurnia
Sholihat Irfan, setidak-tidaknya pelayaran dari Sriwijaya ke Holing
harus terlebih dahulu melalui tempat yang bernama Mo-ho-hsin.
Para
ahli sejarah masih belum sampai pada kata sepakat dalam
mengidentifikasi tentang Mo-ho-hsin. Namun, berdasarkan Prasasti Kota
Kapur yang ditemukan di pantai barat pulau Bangka menunjukkan, pada abad
ke-7 Masehi di daerah ini terdapat sebuah negeri taklukan Sriwijaya
yang cukup penting, sehingga raja Sriwijaya merasa perlu untuk
menempatkan salah satu prasasti persumpahannya di pulau Bangka.
Sampai
sekarang memang belum dapat dipastikan terjemahan yang tepat terhadap
kata Mo-ho-hsin. Menurut Nia Kurnia Sholihat Irfan, besar kemungkinan
kata Mo-ho-hsin berhubungan dengan kata Sanskerta, moha, yang berarti
“bingung” atau “linglung.” Dengan demikian, mungkin bukan suatu
kebetulan
jika sekarang pulau ini bernama Bangka, karena dari sana timbul istilah
tua-bangka yang biasanya ditujukan kepada orang yang sudah tua dan
bingung.
Kerajaan Seputih
Pada catatan
pendeta Fa-Hsien (414 M), diberitakan kapal yang ditumpanginya terdampar
di negeri yang bernama Yeh-po-ti. Identifikasi para ahli sejarah
tentang negeri ini juga masih simpang-siur.
Adalah G.E. Gerini
berpendapat bahwa Yeh-po-ti terletak di pantai timur Sumatra, namun
lokasi tepatnya tidak dijelaskan. Nia Kurnia Sholihat Irfan berpendapat
bahwa Yeh-po-ti adalah terjemahan dari nama Seputih, daerah sekitar Way
Seputih, daerah pantai timur Lampung. Menurut data arkeologi, di daerah
ini pernah berkembang suatu negeri, yaitu dengan ditemukannya lingga dan
arca Hindu yang besar dan patung Dewi Hindu. Pada abad ke-7 Masehi,
kerajaan Seputih ini sudah berada dalam taklukan kekuasaan Sriwijaya.
Kerajaan Talangpedang
Dalam
berita Cina tercatat dua buah negeri yang dituliskan berurutan, yakni
To-lang dan Po-hwang, sebagai nama negeri di “Laut Selatan”. Oleh
Gabriel Ferrand pada tahun 1918, kedua nama itu digabungkan menjadi satu
menjadi To-lang-po-hwang. Lalu lokasinya dinyatakan di Tulangbawang
(sekarang Lampung Utara). Argumen Gabriel itu tidak lebih dari dugaan
semata, karena hingga kini tidak ada bukti data arkeologis yang
mendukung pendapat ini. Menurut pendapat beberapa peneliti sejarah,
To-lang dan Po-hwang merupakan dua nama tempat yang berbeda.
Kemungkinan
yang lebih mendekati adalah nama To-lang mungkin ada hubungannya dengan
Talangpedang, nama daerah yang sekarang terletak di sebelah barat
Tanjungkarang, Lampung. Di Talangpedang ditemukan data arkeologis yang
masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Namun yang jelas, setelah
Talangpedang ditaklukkan oleh Sriwijaya, namanya kemudian menghilang
atau tidak disebut-sebut lagi dalam berita-berita Cina selanjutnya.
Kerajaan Bawang
Berita
Cina menyebutkan negeri Po-hwang mengirim utusannya pada tahun 442 M,
449 M, 451 M, 459 M, 464 M, dan 466 M. O.W. Wolters dari Universitas
Cornell berpendapat, nama Po-hwang merupakan terjemahan dari nama
Bawang, namun tidak disebutkan lokasi tepatnya.
Di daerah Bawang,
negeri Sekala Bekhak, Lampung Utara, telah ditemukan prasasti
persumpahan Sriwijaya. Hal ini membuktikan bahwa di daerah Bawang dahulu
pernah ada sebuah negeri yang cukup penting. Pada abad ke-5 Masehi,
kerajaan Bawang (Po-hwang) itu, berkali-kali mengirim utusan ke negeri
Cina. Namun setelah kerajaan Bawang ditaklukkan Sriwijaya pada abad ke-7
Masehi, namanya juga menghilang dari catatan-catatan musafir Cina.
Kerajaan Melayu
Khusus
di wilayah pulau Sumatra, menurut catatan I-tsing, disebutkan bahwa
pada tahun 671 M di Jambi atau lebih tepatnya di tepian sungai
Batanghari, merupakan pusat kerajaan Melayu. Kronik atau catatan
Hsin-tang-shu pernah mencatat ada utusan dari negeri Mo-lo-yu (Melayu)
datang ke istana kekaisaran Cina pada tahun 644-645 M.
Walaupun
menurut catatan I-tsing, Kerajaan Melayu pada abad ke-7 M secara politik
telah tunduk dan berada dalam kekuasaan kerajaan Sriwijaya. Berdasarkan
catatan dan peninggalan-peninggalan sejarah yang ada seperti keberadaan
kompleks percandian di Muaro Jambi, merupakan kompleks percandian
terluas di Indonesia, tidak dapat dipungkiri kerajaan ini merupakan
kerajaan yang cukup penting dan berpengaruh khususnya di Sumatra kala
itu, terutama setelah masa keemasan kerajaan Sriwijaya mulai memudar.
Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa Jambi tidak dapat dipisahkan
dari kebesaran kerajaan Melayu, baik kerajaan Melayu kuno
(pra-Sriwijaya) maupun kerajaan Melayu setelah masa Sriwijaya.
Berdasarkan
penelitian geomorfologi terhadap pantai timur Sumatra yang dilakukan
oleh tim Dinas Purbakala Indonesia tahun 1954, pada kurun waktu abad
ke-7 Masehi, wilayah Jambi dan Palembang masih terletak di tepi laut.
Posisi Palembang dan Jambi hari ini adalah karena terjadinya proses
sedimentasi selama berabad-abad. Hasil penelitian itu sangat mendukung
keberadaan kerajaan-kerajaan besar, seperti kerajaan Melayu dan
Sriwijaya, memang memiliki posisi yang sangat strategis bagi akses dunia
pelayaran atau perdagangan jalur laut internasional kala itu.
KERAJAAN SRIWIJAYA...!!!
Kemunculan dalam Pentas Sejarah
Pulau
Sumatra masuk dalam kajian sejarah Indonesia, sejak munculnya kerajaan
Sriwijaya sekitar abad ke-7 Masehi. Munculnya kerajaan ini dalam pentas
sejarah Indonesia ditandai dengan beberapa inskripsi; sejumlah prasasti,
sejumlah arca, dan didukung kuat oleh literatur dari catatan-catatan
(kronik) musafir Cina. Sejak tahun 604-an tersebut, sebuah kekuatan
politik telah menguasai beberapa tempat, khususnya di wilayah Nusantara
bagian barat.
Istilah Sriwijaya bagi bangsa Indonesia sekarang ini
bukanlah suatu hal yang asing lagi, nama itu telah masuk dalam
perbendaharaan bahasa Indonesia. Pengetahuan mengenai sejarah kerajaan
Sriwijaya muncul pada awal abad ke-20 Masehi. Nama Sriwijaya mulai
muncul dan dikenal tahun 1918, sejak George Coedes, peneliti
berkebangsaan Perancis, menulis buku berjudul Le Royaume de Çriwijaya
(Kerajaan Sriwijaya).
Sebelum Coedes menulis karangan Le Royaume
de Çriwijaya yang fenomenal itu, pada tahun 1718, E. Renaudot telah
menerjemahkan naskah Arab yang berjudul “Akhbaru ‘s-Shin wa ‘l-Hind”
(Kabar-kabar Cina dan India) yang ditulis oleh seorang musafir Arab
bernama Sulaiman pada tahun 851 M. Naskah itu menceritakan adanya sebuah
kerajaan besar di daerah Zabaj (Jawa). Istilah atau kata “Jawa” yang
dimaksudkan oleh orang Arab kala itu adalah seluruh wilayah kepulauan
Indonesia saat ini. Lalu tahun 1845, J.T. Reinaud menerjemahkan catatan
Abu Zaid Hasan yang mengunjungi Asia Tenggara tahun 916 M. Catatan Abu
Zaid Hasan mengatakan bahwa maharaja Zabaj bertahta di negeri Syarbazah
yang ditransliterasikan oleh J.T. Reinaud menjadi Sribuza.
Catatan
atau kronik Cina yang berasal dari abad ke-7 dan ke-8 Masehi banyak
menyebutkan keberadaan sebuah negeri atau kerajaan di Nan-hai (Laut
Selatan) yang bernama Shih-li-fo-shih. Setelah melalui penelahaan yang
mendalam oleh para pakar sejarah, disepakati bahwa Shih-li-fo-shih
merupakan transliterasi dari Sriwijaya (kerajaan Sriwijaya).
Sumber-sumber
berita dari negeri Cina menyebutkan keberadaan Shih-li-fo-shih
berdasarkan kronik Dinasti Tang (618-902 M), kronik perjalanan pendeta
Budha I-tsing (671 M), kronik Dinasti Sung (960-1279 M), kronik Ling-wai
Tai-ta oleh Chou Ku Fei (1178 M), kronik Chu-fan-chi oleh Chau Ju-kua
(1225 M), kronik Tao Chih Lio oleh Wang Ta Yan (1345 M), kronik Dinasti
Ming (1368-1643 M), dan kronik Ying-yai Sheng-lan oleh Ma Huan (1416 M).
Kata
Sriwijaya dijumpai pertamakali tertulis di Prasasti Kota Kapur di pulau
Bangka. Prasasti yang ditemukan tahun 1892 dan berangka tahun 608 Saka
atau 686 M memuat keterangan Sriwijaya menaklukkan bumi Jawa yang tidak
tunduk kepada Sriwijaya.
Pada tahun 1913, peneliti Hendrik Kern
mengindentifikasikan Sriwijaya adalah nama seorang raja, yaitu Raja
Wijaya. Alasannya, karena gelar Sri biasanya dipakai sebagai sebutan
atau gelar seorang raja. Lima tahun kemudian (1918) pendapat Kern
dibantah oleh Coedes. Coedes berpendapat, berdasarkan telaah teks pada
Prasasti Kedukan Bukit yang ditemukan di Palembang dan catatan-catatan
perjalanan para pendeta Cina bahwa Sriwijaya adalah nama sebuah
kerajaan.
Alasan-alasan Coedes adalah, pertama, dalam Prasasti
Kota Kapur; pada baris ke-2 tercantum kalimat kedatuan Çriwijaya
(kerajaan Sriwijaya), baris ke-4 tercantum kalimat datu Çriwijaya (raja
Sriwijaya), dan baris ke-10 tercantum kalimat walla Çriwijaya (tentara
Sriwijaya). Kedua, dalam Prasasti Ligor tertulis jelas ungkapan
Çriwijayendraja (raja Sriwijaya). Ketiga, Prasasti yang dikeluarkan raja
India, Raja I, pada tahun 1006, yang dikenal dengan nama Piagam Leiden
(karena tersimpan di Leiden, Belanda), menyebutkan istilah
Marawijayatunggawarman, raja Çriwijaya (Sriwijaya) dan Kataha (Kedah).
Dan keempat, nama Çrivijayam (Sriwijaya) juga terdapat dalam daftar
nama-nama negeri yang disebut oleh raja Chola (Cholomandala),
Rajendracola I, pada tahun 1025, seperti yang tercantum dalam prasasti
yang ditemukan di Tanjore, India Selatan.
Selain itu, Coedes
mengemukakan bahwa nama Sriwijaya yang ditransliterasikan dalam
kronik-kronik Cina dengan nama Shih-li-fo-shih atau San-fo-tsi adalah
kerajaan Sriwijaya. Sejak tahun 1918, kerajaan Sriwijaya makin populer
di kalangan para peneliti sejarah. Para peneliti sejarah banyak yang
tertarik untuk menulis tentang Sriwijaya, di antaranya, J.P. Vogel
menulis karangan Het Koninkrijk Çrivijaya, tahun 1919.
Tahun itu
juga, dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar Universitas Leiden,
N.J. Krom bertema sejarah Sriwijaya dengan judul “De Sumatraansche
Periode des Javaansche Geschiedenis” (bukunya berjudul Hindoe Javaansche
Geschiedenis terbit tahun 1926). Tahun 1920, C.O. Blagden menulis
karangan The Empire of the Maharaja, King of The Mountains and Lord of
the Isles. Dua tahun kemudian atau pada tahun 1922, G. Ferrand juga
menyusun sejarah Sriwijaya secara lebih sistematis dan kronologis dengan
judul L’Empire Sumatranais de Çrivijaya.
Peran Coedes dalam
mengangkat keberadaan Sriwijaya yang telah berabad-abad terpendam,
banyak berpengaruh dalam penulisan sejarah Sriwijaya pada periode
selanjutnya. Bukti-bukti keberadaaan kerajaan Sriwijaya ini diperkuat
lagi dengan ditemukannya dua prasasti di Palembang tahun 1920, yaitu
Prasasti Kedukan Bukit dan Prasasti Talang Tuwo.
Prasasti dan Arca
Prasasti
merupakan sumber sejarah tulisan berupa benda atau artefak yang
berbentuk tiga dimensional, seperti batu, logam, kayu, dan lain-lain.
Berita mengenai kerajaan Sriwijaya mulai dikenal dan semakin populer
sejak ditemukannya beberapa prasasti yang umumnya berasal dari abad ke-7
Masehi.
Menurut arkeolog Bambang Budi Utomo, prasasti-prasasti
yang ditemukan di wilayah Sumatra bagian selatan/tenggara berkisar 31
prasasti yang sebagian besar berasal dari masa Sriwijaya. Prasasti yang
berasal dari abad k-7 Masehi berjumlah 25 buah. Isinya berkenaan dengan
persumpahan dan siddhayatra (perjalanan suci). Sebagian besar prasasti
tersebut ditemukan di wilayah Palembang saat ini, yakni 23 buah
prasasti, termasuk Prasasti Kedukan Bukit, Talang Tuwo, Telaga Batu, dan
Boom Baru. Keterangan prasasti-prasasti tersebut adalah sebagai
berikut.
Prasasti Kedukan Bukit
Prasasti
Kedukan Bukit ditemukan pada akhir 29 November 1920 di kebun pak H.
Jahri, tepi sungai Tatang, desa Kedukan Bukit di kaki Bukit Siguntang
yang letaknya di sebelah barat daya Palembang, Sumatra Selatan saat ini.
Prasasti itu dikenali oleh seorang kontrolir Belanda yang penggemar
sejarah, Batenburg, yang kemudian melaporkan penemuan itu ke Dinas
Purbakala (Oudheidkundigen Dienst).
Prasasti yang berbentuk
bulat-telur tersebut merupakan prasasti tertua dari masa Sriwijaya
dengan angka tahun 604 Saka atau 682 M (tahun Saka dikonversi dengan
tahun Masehi ditambah 78 tahun), terbuat dari batu andesit dengan ukuran
panjang batu lebih-kurang 42 cm dan kelilingnya 80 cm. Sekarang,
prasasti yang terdiri dari sepuluh baris, ditulis dengan huruf Pallawa,
dan berbahasa Melayu Kuno ini disimpan di Museum Nasional Jakarta.
Teks Prasasti Kedukan Bukit:
(1)swasti
sri sakawarsatita 605 ekadasi su (2) klapaksa wulan waisakha dapunta
hiyam nayik di (3) samwau manalap siddhayatra di saptami suklapaksa (4)
wulan jyestha dapunta hiyam marlapas dari minana (5) tamwan mamawa yam
wala dualaksa danan ko- (6) duaratus cara di samwau danan jalan sariwu
(7) tluratus sapulu dua wanakna datam di mata jap (8) sukhacitta di
pancami suklapaksa wula [n]… (9) laghu mudita datam marwuat wanua … (10)
sriwijaya jaya siddhayatra subhiksa …
Terjemahan oleh G. Coedes:
Kemakmuran!
Keberuntungan! Pada tahun Saka telah lewat 605, hari kesebelas paruh
terang bulan Waisakha, Sri Baginda naik kapal mengambil kesaktian. Hari
ketujuh paruh terang bulan Jyestha, raja membebaskan diri dari […]. ia
memimpin bala tentara yang terdiri dari dua puluh ribu [orang]; pengikut
[…] sejumlah dua ratus orang menggunakan perahu, pengikut yang berjalan
kaki sejumlah seribu tiga ratus dua belas orang tiba di hadapan
[raja?], bersama-sama, dengan sukacitanya. Hari kelima paruh terang
bulan […], ringan, gembira, datang dan membuat negeri […] Sriwijaya,
sakti, kaya […].
Isi teks Prasasti Kedudukan Bukit di atas
menyebutkan perjalanan Dhapunta Hyang bersama balatentaranya untuk
mendirikan wanua atau suatu wilayah, sehingga akhirnya Sriwijaya menang
dan makmur.
Prasasti Talang Tuwo
Prasasti
Talang Tuwo ditemukan di sekitar muara sungai Lambidaro dan ujung sungai
Sekanak, desa Talang Tuwo (sekarang masuk Kecamatan Talang Kelapa) pada
17 November 1920 oleh L.C. Westenenk, pejabat Belanda yang bertugas di
Palembang. Desa ini termasuk dalam kawasan Gandus, di sebelah barat
Palembang. Prasasti yang terdiri dari 14 baris ini berhuruf Pallawa,
berbahasa Melayu Kuno, dan berangka tahun 606 Saka (684 M). Prasasti
yang berbentuk persegi empat (jajaran genjang) ini sekarang disimpan
juga di Museum Nasional Jakarta.
Teks Prasasti Talang Tuwo:
(1)
swasti sri sakawarsatita 606 dim dwitiya suklapaksa wulan caitra sana
tatkalana parlak sriksetra ini niparwuat (2) parwandha punta hiyam
srijayanasa ini pranidhananda punta hiyam sawanakna yam nitanam di sini
niyur pinam hanau ru (3) mwiya dnan samisrana yam kayu nimakan wuahna
tathapi haur wuluh pattum ityewamadi punarapi yam parlak wukan (4) dnan
tawad talaga sawanakna yam wuatku sukarita parawis prayojanakan punyana
sarwwasatwa sakaracara waro payana tmu (5) sukha di asannakala di
antara margga lai tmu muah ya ahara dnan air niminumna sawanakna
wuatna huma parlak mancak mu (6) ah ya mamhidupi pasu prakara marhulun
tuwi wrdddhi muah ya janan ya niknai sawanakna yam upasargga pidanu
swapnawigha waram wua (7) tana kathamapi anukula yam graha naksatra
parawis diya nirwyadhi ajara kawuatanana tathapi sawanakna yam bhrtyana
(8) satyarjjawa drdhabhakti muah ya dya yam mitrana tuwi janan ya
kapata yam minina mulan anukula bharyya muah ya waram stha….
Terjemahan oleh G. Coedes:
Kemakmuran!
Keberuntungan! Tahun Saka 606, hari kedua paruh bulan Çaitra: pada saat
itulah taman ini (yang dinamai) Sriksetra dibuat di bawah pimpinan Sri
Baginda Sri Jayanasa. Inilah niat Sri Baginda: Semoga segala yang
ditanam di sini, pohon kelapa, pinang, aren, sagu dan bermacam-macam
pohon, buahnya dapat dimakan, demikian pula bambu haur, wuluh dan
pattum, dan sebagainya; dan semoga juga taman-taman lainnya dengan
bendungan-bendungan dan kolam-kolamnya, dan semua amal yang saya
berikan, dapat dipergunakan untuk kebaikan semua mahluk, yang dapat
pindah tempat dan yang tidak, dan bagi mereka menjadi jalan terbaik
untuk mendapatkan kebahagiaan. Jika mereka lapar waktu beristirahat atau
dalam perjalanan, semoga mereka menemukan makanan serta air minum.
Semoga semua kebun yang mereka buka menjadi berlebih [panennya]. Semoga
suburlah ternak bermacam jenis yang mereka pelihara, dan juga
budak-budak milik mereka. Semoga mereka tidak terkena malapetaka, tidak
tersiksa karena tidak bisa tidur. Apa yang mereka perbuat, semoga semua
planet dan rasi menguntungkan mereka, dan semoga mereka terhindar dari
penyakit dan ketuaan selama menjalankan usaha mereka. Dan juga semoga
semua hamba mereka setia pada mereka dan berbakti, lagi pula semoga mana
pun mereka berdoa, semoga di tempat itu tidak ada pencuri, atau orang
yang mempergunakan kekerasan, atau pembunuh, atau penzinah. Selain itu,
semoga mereka mempunyai seorang kawan sebagai penasihat baik; semoga
dalam diri mereka lahir pikiran Bodhi dan persahabatan ….
Inti isi
dari Prasasti Talang Tuwo tersebut menyebutkan tentang pembuatan Taman
Sriksetra oleh raja Sriwijaya yang bernama Sri Jayanasa.
Prasasti Telaga Batu
Prasasti
Telaga Batu ditemukan pada tahun 1935 di Telaga Batu, Sabokingking 2
Ilir, Palembang tidak berangka tahun. Prasasti yang dihiasi gambar
kepala ular kobra berkepala tujuh ini tediri dari 28 baris. Menurut F.M
Schnitger prasasti ini berasal dari abad ke-9 Masehi atau ke-10 Masehi,
tetapi menurut J.G. de Casparis prasasti ini berasal dari pertengahan
abad ke-7 Masehi.
Bentuk (rupa) prasasti ini dibandingkan dengan
prasasti lain dinilai paling artistik dan indah, berbentuk telapak kaki,
menunjukkan masyarakat Sriwijaya telah memiliki seniman patung yang
mumpuni. Di lokasi situs ini juga ditemukan batu yang bertuliskan
sidhayatra (perjalanan kemenangan atau suci). Diperkirakan tempat ini
merupakan suatu tempat berziarah yang penting ketika itu.
Dilihat
dari perupaan Prasasti Telaga Batu ini, yang tampak adalah tujuh kepala
ular kobra dan pada bagian bawah prasasti terdapat bentuk rel atau
saluran yang simetris antara kiri dengan kanan dan bertemu di bagian
tengahnya seperti pancuran air. Dari bentuk dan perupaan pancuran itu
menggambarkan dua alat kelamin sekaligus (hermaprodit), yang bila
dihubungkan dengan kosmologi mistis merupakan simbol kesuburan. Prasasti
ini adalah satu-satunya prasasti Sriwijaya yang bukan hanya berisi
tulisan, tetapi juga terdapat bentuk atau image. Ketujuh kepala ular
kobra yang ada pada bagian atas prasasti dapat diinterpretasikan sebagai
upaya raja Sriwijaya untuk menjaga agar isi atau teks prasasti yang
dipahatkan itu tetap dipatuhi. Sekarang ini, prasasti yang berbahasa
Melayu Kuno dan berhuruf Pallawa ini, disimpan di Museum Nasional,
Jakarta.
Teks Prasasti Telaga Batu
(1) om siddham titam
hamwan wari awai kandra kayet nipaihumpa, an amuha ulu (2) lawan
tandrum luah makamatai tandrun luah an hakairu muah kayet nihumpa unai
ume (3) ntem bhakti ni ulun haraki unai tunai kamu wanak mamu rajaputra,
prostara, bhupati, senapati, nayata, pratyaya, hajipratyaya,
dandanayaka (4) …. murddhaka tuha an watakwuruh, addhyaksi nijawarna,
vasikarana, kumaramatya, cathabhata, adhikarana, karmma, kayastha,
sthapaka, puhawan, waniyaga, pratisara da (5) kamu marsi haji, hulun
hajo, wanak mamu uram niwunuh sumpah dari mammam kamu kadaci kamu tida
bhakti dyaku niwunuh kamu sumpah tuwi mulam kadasi kamu drohaka wanun
luwi yam marwuddhi.
Terjemahan oleh G. Coedes:
Om!
Semoga berhasil…. Kamu semua, berapapun banyaknya, putra raja…, bupati,
senapati, nayaka, pratiyaya, orang kepercayaan (?) raja, hakim,
pemimpin… (?) kepala para buruh, pengawas kasta rendah, vasikarana,
kumaramatya, catabhata, adhikarana…,…(?), pekerja, pemahat, nakhoda,
pedagang, pemimpin,…(?), dan kamu tukang cuci rajadan budak raja. Kamu
semua akan mati oleh kutukan ini, jika kamu tidak setia kepadaku, kamu
akan mati oleh kutukan. Selain itu, jika kamu berlaku sebagai
penghianat, berkomplot dengan orang-orang (?)…
Isi teks Prasasti Telaga Batu pada dasarnya juga merupakan suatu kutukan raja Sriwijaya kepada para pengikutnya; para pembesar.
Prasasti Kota Kapur
Prasasti
ini ditemukan pada Desember 1892 di lahan yang dikelilingi benteng
tanah di tepi sungai Mendo, desa Kota Kapur, sebelum desa Penagan,
Kecamatan Mendo Barat, Kabupaten Bangka. Prasasti Sriwijaya yang
berangka tahun 686 M ini, tingginya 150 cm. Berisi teks yang terdiri
dari 10 baris, berhuruf Pallawa, dan berbahasa Melayu Kuno. Sekarang
prasasti ini disimpan di Museum Nasional, Jakarta.
Prasasti Kota
Kapur ini bila dilihat secara perupaan sangat berbeda dengan
prasasti-prasasti Sriwijaya lainnya, karena bentuk prasasti ini vertikal
menyerupai menhir pada masa tradisi megalitik.
Teks Prasati Kota Kapur:
siddha
titam hamwan wari awai kandra kayet ni paihumpaan namuha ulu lawan
tandrun luah makamatai ta ndrum luah minunu paihumpaan hakairu muah
kayet nihumpa u nai tunai (2) umentem bhakti niulun haraki unai tunai
kita sawanakta de wata mahar dhika sannidhana mamraksa yam kadatuan
sriwijaya kita tuwi tandrun luah wanakta dewata mulana yam parsumpahan
(3) parawis kadaci yam uram di dalamna bhumi ajnana kadatuan ini parawis
drohaka hanun samawuddhi la wan drohaka manujari drohaka niujari
drohaka tahu dim drohaka niujari drohaka tahu dim drohaka tida ya (4)
mar padah tida ya bhakti tida ya tatwarjjawa diy aku dnan di iyam
nigalarku sanyasa datua dhawa wuatna uram inan niwunuh ya sumpah
nisuruh tapik ya mulam parwwandan datu sriwi(5)jaya talu muah ya dnan
gotrasantanana tathapi sawanakna yam wuatna jahat makalanit uram
makasa kit makagila mantra gada wisaprayoga upuh tuwa tamwal….
Terjemahan oleh G. Coedes:
Keberhasilan!
[disusul mantra kutukan yang tak dapat diartikan]. Wahai sekalian
dewata yang berkuasa, yang sedang berkumpul dan yang melindungi Provinsi
[kadatuan] Sriwijaya [ini]; juga kau tandrun luah [penguasa air] dan
semua dewata yang mengawali permulaan setiap mantra kutukan! Bilamana di
pedalaman semua daerah [bhumi] [yang berada di bawah provinsi
[kadatuan] ini] akan ada orang yang memberontak […] yang bersekongkol
dengan para pemberontak, yang berbicara dengan pemberontak, yang
mendengarkan kata pemberontak, yang mengenal pemberontak, yang tidak
berperilaku hormat, yang tidak takluk, yang tidak setia pada saya dan
pada mereka yang oleh saya diangkat sebagai datu, biar orang-orang yang
menjadi pelaku perbuatan-perbuatan tersebut mati kena kutuk; biar sebuah
ekspedisi [untuk melawannya] seketika dikirim di bawah pimpinan datu
[atau beberapa datu] Sriwijaya, dan biar mereka dihukum bersama marga
dan keluarganya. Lagi pula biar semua perbuatannya yang jahat; [seperti]
mengganggu :ketenteraman jiwa orang, membuat orang sakit, membuat orang
gila, menggunakan mantra, racun, memakai racun upas dan tuba, ganja….
Tahun
Saka 608, hari pertama paruh terang bulan Waisakha (28 Pebruari 686
Masehi), pada saat itulah kutukan ini diucapkan; kemudian dipahatkan
oleh pemahatannya, berlangsung ketika bala tentara Sriwijaya baru
berangkat untuk menyerang Jawa yang tidak takluk kepada Sriwijaya.
Prasasti Kota Kapur isinya juga memuat kutukan-kutukan bagi mereka yang
tidak taat kepada raja Sriwijaya.
Prasasti Palas Pasemah
Prasasti
ini ditemukan di tepi Way Pisang, Kabupaten Lampung Selatan pada tahun
1957. Sampai sekarang, prasasti ini masih terletak di daerah ini (in
situ). Prasasti berbentuk setengah bulat-lonjong ini berhuruf Pallawa
dan berbahasa Jawa Kuno, tidak memuat angka tahun. Berdasarkan
palaeografi (ilmu tentang tulisan kuno), prasasti ini diduga berasal
dari sekitar abad ke-7 Masehi. Prasasti Palas Pasemah terdiri dari 13
baris hampir sama dengan Prasasti Karang Brahi dan Kota Kapur, memuat
kutukan bagi mereka yang tidak taat kepada raja Sriwijaya.
Teks Prasasti Palas Pasemah
(1)
siddha kitaŋ hamwan wari awai. kandra kayet. ni pai hu [mpa an] (2)
namuha ulu lawan tandrun luah maka matai tandrun luah wi [nunu paihumpa]
(3) an haŋkairu muah. kayet nihumpa unai tunai. umenteŋ [bhakti ni
ulun] (4) haraki unai tunai. kita sawanakta dewata maharddhika san
nidhana maŋra [ksa yaŋ kadatuan] (5) di sriwijaya. kita tuwi tandrun
luah wanakta dewata mula yaŋ parssumpaha [n parawis. kada] (6) ci uraŋ
di dalaŋna bhumi ajnan kadatuanku ini parawis. drohaka wanu [n.
samawuddhi la] (7) wan drohaka. manujari drohaka. niujari drohaka. tahu
din drohaka [. tida ya marpadah] (8) tida ya bhakti tatwa arjjawa di
yaku dnan di yaŋ nigalar kku sanyasa datua niwunuh ya su [mpah ni]….
Terjemahan oleh Boechari:
(1-4).
….Wahai sekalian dewa, yang maha kuat, yang melindungi (kerajaan) (5)
Sriwijaya, wahai, para jin air dan semua dewa pemula rafal kutukan
(jika) (6) Ada orang di seluruh kekuasan yang tunduk pada kerajaan yang
memberontak, (berkomplot dengan) (7) Pemberontak, bicara dengan para
pemberontak, tahu pemberontak (yang tidak menghormatiku) (8) Tidak
tunduk takzim dan setia padaku dan bagi mereka yang yang dinobatkan
dengan tuntutan datu, (orang-orang tersebut) akan terbunuh oleh
(kutukan)….
Prasasti Boom Baru
Prasasti ini
ditemukan pada bulan April 1992 oleh penggali pasir yang bernama Rizal
di pinggir sungai Musi, depan Pemakaman Kawah Tekurep (pemakaman
Kesultanan Palembang), Jalan Blabak, 3 Ilir, kawasan Pelabuhan Boom
Baru, Palembang. Rizal adalah teman Aminta, pegawai Museum Balaputra
Dewa, yang melaporkan penemuan benda bersejarah itu kepada Kepala Museum
Balaputra Dewa, Syamsir Alam, sehingga prasasti itu dapat diselamatkan.
Diduga situs Kawah Tekurep sebelum dijadikan pemakaman keluarga
Kesultanan Palembang, merupakan situs kerajaan Sriwijaya.
Prasasti
itu, waktu ditemukan kondisinya dalam keadaan pecah dua, merupakan
sebongkah batu kali yang berbentuk bulat-lonjong berwarna
kemerah-merahan dengan tinggi 47 cm dan lebar 32,5 cm. Berdasarkan
palaeografinya, prasasti ini diperkirakan berasal dari sekitar abad ke-7
Masehi, berhuruf Pallawa, dan berbahasa Melayu Kuno. Prasasti ini
disimpan di Museum Negeri Balaputra Dewa, Provinsi Sumatra Selatan.
4 komentar: